Kamis, 12 Februari 2009

Dasar etik dan moral profesi kedokteran

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik-buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk melihat hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules di bawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah:
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent;
2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat);
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no harm”;
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu “kontrak moral” antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan “kontrak kewajiban moral” antara dokter dengan peer-groupnya, yaitu masyarakat profesinya.
Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.

Dampak perkembangan ilmu kedokteran
Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris dan bukan ilmu eksakta, dalam arti bahwa dalam membuat suatu kesimpulan deduktif ataupun induktif, ilmu kedokteran membutuhkan pengalaman-pengalaman yang disusun dengan menggunakan metode pengumpulan dan pengolahan data secara ilmiah (evidence based). Metode ini mengakibatkan pengambilan suatu kesimpulan selalu memiliki peluang terjadinya bias dan peluang adanya “fakta” yang belum diketahui karena belum adanya pengalaman. Konsekuensi logisnya adalah bahwa tingkat kepastian dalam ilmu kedokteran disusun dalam bentuk probabilitas – bukan kepastian sebagaimana di dalam ilmu matematis. Kalangan hukum menganggap adanya “reasonable medical certainty” yang diartikan sebagai kepastian yang “cukup meyakinkan”, sebagaimana juga di bidang hukum dikenal sebagai “beyond reasonable doubt”.
Mengingat sifat keilmuan tersebut di atas maka muncullah doktrin hubungan dokter-pasien yang bersifat kontrak berdasar upaya (inspanningsverbintennis) dan bukannya kontrak berdasar hasil. Keberhasilan suatu tindakan medik tidak hanya bergantung kepada kompetensi dokter dan stafnya, melainkan juga bergantung kepada ketersediaan peralatan dan waktu, keadaan penyakitnya, faktor-faktor lingkungan, kepatuhan pasien, serta faktor konstitutif pasien itu sendiri. Perlu diingat bahwa tidak semua faktor tersebut dapat dikendalikan oleh dokter dan stafnya.
Ilmu kedokteran juga bukan ilmu yang stagnan, melainkan dinamis dan selalu bergerak cepat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan situasi perekonomian yang juga bergerak cepat. Kebenaran saat ini belum tentu tetap sebagai kebenaran di esok hari, demikian pula standar yang berlaku saat ini belum tentu masih berlaku beberapa waktu kemudian. Standar pelayanan medis bukanlah standar yang kaku, melainkan standar yang fleksibel.
Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled), khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah, obstetrik dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.
Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut:
1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dll.
2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berrisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat.
3. Risiko yang tidak dapat diprediksikan / dibayangkan sebelumnya, sebagai hasil dari “ketidakpastian ilmu kedokteran”, yaitu unforeseeable risk.
Terjadinya kedua risiko pada butir 1 dan 2 di atas bukan menjadi tanggungjawab hukum dokter apabila telah diinformasikan kepada pasien dan/atau keluarganya dan kemudian memperoleh persetujuannya (doktrin informed consent, volenti non fit injuria). Risiko pada butir 3 juga bukan menjadi tanggungjawab dokter oleh karena ilmu kedokteran memang tidak dapat melakukan tindakan “pencegahan” terjadinya risiko yang tidak dapat diduga sebelumnya. Namun demikian, Informed consent tidak melindungi dokter dari terjadinya hasil buruk akibat suatu kelalaian ataupun suatu perbuatan melanggar hukum lainnya.
Perkembangan dunia kedokteran di tingkat nasional tidak dapat dipisahkan dari perkembangan di tingkat dunia. Sebagai akibatnya adalah harapan masyarakat akan keberhasilan layanan kedokteran juga meningkat sejalan dengan harapan yang sama di tingkat dunia. Sementara itu, kemampuan dunia kedokteran nasional dalam mengikuti perkembangan kedokteran di dunia sangat dipengaruhi oleh perkembangan situasi perekonomian dan teknologi. Dengan demikian standar profesi yang berlaku di dunia internasional seringkali disimpangi dalam praktik kedokteran nasional, atau berarti berbeda dengan standar profesi di tingkat nasional.
Keputusan etik pada kasus-kasus kritis di suatu negara seringkali juga menimbulkan sikap pro dan kontra yang meluas di tingkat dunia. Sebagai contoh adalah kasus Terri Schiavo, penderita persistent vegetative state selama 15 tahun, yang menjalani euthanasia atas permintaan suaminya yang disetujui oleh pengadilan. Dunia memang tidak seluruhnya sependapat dengan putusan pengadilan tersebut, dan setidaknya sikap moral yang “menang” pada kasus tersebut telah menantang sikap moral membela kehidupan yang selama ini dianut dunia kedokteran. Sebagian para ahli etik yang pro-putusan pengadilan mencari alasan pembenar dari segi moral, sedangkan mereka yang kontra mengemukakan bahwa tindakan tersebut adalah pembunuhan.

Menyikapi masalah dan pelanggaran etik
Masalah etik yang dihadapi manajemen ataupun para profesional klinik yang bersifat prospektif sebaiknya dibahas di dalam Komite Etik di rumah sakit apabila ada atau setidaknya di dalam Komite Klinik. Di Amerika Serikat umumnya terdapat Komite Etik di setiap rumah sakit yang didirikan untuk memecahkan masalah-masalah etik yang dihadapi, baik oleh manajemen (etik institusi) maupun oleh para profesional kliniknya (etika profesi). Selain peran ethical decision making di atas, Komite Etik di dalam rumah sakit juga berperan di bidang pendidikan, kebijakan alokasi sumber daya, komitmen institusi, formulasi kebijakan, diskusi multidisiplin, dan konsultasi.
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis (atau Komite Klinik) dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh badan-badan tersebut di atas, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh majelis etik, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh majelis etik belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum) di sebuah rumah sakit, maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Komite Klinik rumah sakit tersebut (cq Panitia Etik bila ada) untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan Komite Klinik di satu sisi (internal) bertujuan untuk menjaga akuntabilitas, profesionalisme, keluhuran profesi dan mempertahankan etik institusi, sekaligus untuk mengembangkan keselamatan pasien. Di sisi lain (eksternal), persidangan Komite Klinik juga dapat dimanfaatkan untuk membuat pertimbangan bagi dibuatnya keputusan Manajemen tentang apa yang akan dilakukan dalam rangka menyelesaikan sengketanya dengan pasien.
Pembahasan dari sisi profesi ditujukan untuk menjadikannya sebagai pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi – tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya “kasus” tersebut. Penyelesaian secara profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dilakukan dalam rapat Komite Klinik, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report system, dll), namun pemberian sanksi hanya dapat diberikan dalam suatu Rapat Komite Klinik khusus untuk itu. Pembahasan sisi profesi juga dapat dilakukan di tingkat yang lebih tinggi, misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, dll.
Dalam menghadapi persidangan Komite Klinik tersebut, dokter yang diduga melakukan pelanggaran etik harus membuat catatan tentang kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan masing-masing tindakannya, dan menandatanganinya (semacam pernyataan affidavit). Hal ini bisa dicapai apabila ia memiliki dokumen (rekam medis) yang cukup lengkap, termasuk informed consent dan catatan yang terkait. Apabila lebih dari satu orang yang terlibat dalam kasus tersebut, maka mereka harus membahasnya bersama untuk dapat saling melengkapi “jalannya ceritera” – tanpa melakukan manipulasi fakta.
Apabila tingkat potensialnya untuk menjadi kasus medikolegalnya cukup tinggi, maka sebaiknya kasus tersebut dilaporkan ke atasan (ketua KSMF) untuk dibahas bersama. Institusi kesehatan yang relatif kecil dan memiliki staf medis yang terbatas mungkin sukar membahas kasus yang “spesialistik” dengan baik, maka berupayalah untuk mengundang pakar dari organisasi profesi atau perhimpunan spesialis terkait. Dalam audit klinis tersebut dilakukan pembahasan tentang keadaan pasien, situasi-kondisi yang merupakan “tekanan”, diagnosis kerja dan diagnosis banding, indikasi medis dan kontra-indikasi, alternatif tindakan, informed consent, komunikasi, prosedur tindakan dibandingkan dengan standar, penyebab peristiwa yang menuju ke peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa tersebut saat itu, diagnosis akhir, dan kesimpulan apakah prosedur medis dan alasannya telah dilakukan sesuai dengan situasi-kondisi.
Keseluruhan yang dilakukan di atas adalah juga merupakan langkah-langkah persiapan menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan gugatan di kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus melihat kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis (perijinan), serta kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen pelatihan/workshop, pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan dengan kasus.
Kepada pasien dan/atau keluarganya harus diberikan penjelasan yang memuaskan tentang terjadinya peristiwa tersebut, penyebabnya atau kemungkinan penyebabnya, tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah atau mengatasinya, tindakan yang masih diperlukan, dan peluang kesembuhannya di masa mendatang. Apabila pasien meninggal dunia, maka penjelasan tentang sebab kematian yang cukup rinci diperlukan. Keberhasilan penjelasan ini sangat bergantung kepada kualitas penjelasan yang telah diberikan sewaktu memperoleh informed consent. Keluhan atau komplain pasien dan/atau keluarganya harus direspons dengan segera dan adekuat. Alangkah lebih baik apabila penjelasan dilakukan oleh tim dokter terkait didampingi oleh salah seorang direktur dan wakil dari Komite Klinik.
Apabila di kemudian hari datang somasi, maka segeralah berkonsultasi dengan manajemen dan Komite Klinik serta penasehat hukum terkait. Tenaga medis dan staf lain yang terlibat pada kasus tersebut haruslah berada dalam satu pihak yang solid dengan rumah sakit agar tidak mudah digoyang oleh pihak penuntut. Suatu pertemuan dan penjelasan yang adekuat seringkali dapat meredakan permasalahan. Tidak sedikit yang berlanjut ke pembicaraan tentang “kompensasi” finansial di luar pengadilan. Cara tersebut dirasakan cukup efektif untuk mencegah kasus ke pengadilan yang membawa berbagai dampak. Proses di pengadilan dianggap telah merusak citra pofesional, mengganggu bisnis, berbiaya tinggi dan makan waktu lama. Namun, sebagian kecil kasus mungkin masih akan maju ke pengadilan.
Tidak jarang, sebagaimana akhir-akhir ini sering terjadi, pasien dan kuasanya mengungkapkan kasusnya kepada publik melalui media massa – dilihat dari sisi mereka dengan persepsi mereka sendiri. Tulisan, tayangan atau pernyataan yang sangat menyudutkan rumah sakit atau menyesatkan persepsi masyarakat sebaiknya segera direspons oleh rumah sakit dengan memberikan informasi yang adekuat tanpa harus membuka rahasia kedokteran.



Kesimpulan
Etik kedokteran memberikan pedoman bagi profesional medis dalam membuat keputusan klinis yang etis dan dalam bersikap dan berperilaku.
Ajaran patient safety mengharuskan kepada rumah sakit untuk mengelola risiko yang dihadapi pasien sedemikian rupa sehingga risiko medis yang dapat mengganggu keselamatan pasien ditekan sekecil-kecilnya, melalui berbagai program yang diselenggarakan oleh manajemen dan komite klinik.
Penanganan masalah pelanggaran etik kedokteran dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pembinaan dalam rangka menuju akuntabilitas profesionalisme, sekaligus pada sisi lainnya dalam rangka menyelesaikan sengketa secara efektif dan efisien.

Kepustakaan Lanjutan
AHRQ’s Patient Safety Initiatives. http://www.ahrg.gov
Bayles MD. Professional Ethics. Belmont : Wadsworth Inc, 1981.
Beauchamp TL and Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. 3rd ed. New York: Oxford University Press, 1989
Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San Fransisco: Jossey-Bass, 2001
Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer health system. Washington: National Academy Press, 2000
Leenen H, Gevers S, Pinet G. The Rights of Patients in Europe. Deventer : Kluwer Law and Taxation Publ, 1993
Lens P and vander Wal G. Problem Doctors, a conspiracy of silence. Amsterdam:Jos Press, 1997
Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern: International Business Communications Pty Ltd, 1989.
Mappes T.A. and Zembaty JS. Biomedical Ethics. New York: McGraw-Hill Book Company, 1981
McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002.
Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An Aspen Publication, 2002
Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 1995
Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.
Veatch RM. Medical Ethics. 2nd ed. Boston : Jones and Bartlett Publ, 1997.
Vincent C, Ennis M and Audley RJ. Medical Accident. Oxford: Oxford University Press, 1993.
WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain, September 1992

1 komentar:

  1. Thanks infonya. Oiya ngomongin dokter, ada hal penting loh yang kadang kala kerap dikesampingkan oleh seorang dokter. Karena jadwalnya yang begitu padat, dokter sering banget mengabaikan yang namanya investasi. Padahal, ada loh investasi yang mudah dan menguntungkan bagi mereka yang berprofesi itu. Yuk cek di sini: Investasi tepat bagi dokter

    BalasHapus