Kamis, 19 Februari 2009

stOry of luV drg_letda

Di setiap langkah kaki kecil ini,,
di setiap pijakan yg ku tapaki,,
di setiap helaan nafas panjag,,
dan dalam setiap detak jatung ini,,

Hanya mampu kurasa hadirmu,,
Hanya mampu kutatap bayangmu,,
Hanya mampu terendus wangi tubuhmu,,
dan hanya mampu terucap,,"Sayank.."

Meski tak smua waktu dilewatkan brsMa..
Mski tak smua tempat dijelajahi,,
Mski tak smua prjLanan dilalui brdua,,
tp yg kulihat,,kurasa,,kudengar,,kuendus,,
kudekap dLm satu,,dan kaupun rasakannya..

Kau bawa aku k dunia yg baru..
Kau kenalkan aku d khdpNmu..
Kau pksa aku memahami keseharianmu..
Dgn penuh kesabaran melakukan itu..

Kau yakinkan aku akan hatimu,,
Kau bwt ku percaya akan CINTAmu,,
Kau bwt aku sLaLu steriL dr luka,,
Luka lama yg tLah kau sembuhkan..

Kau pinta aku berdOa untukmu..
Sayank,,tanpa kau mNta pun,,
di setiap tanGis,,sujud,,dan dOaku,,
hanya ada p2m2,,adikku,,dan dirimu,,

Saat aku merindukanmu sanGat..
Namun aku tak bs menGGapaimu..
Tak mampu merengkuhmu disini..
Tak mampu membawamu kemari..

Aku hanya bs berdoa,,
Aku hanya bs menanGis,,
aku hanya bs memohon..
Smoga drmu baik-baik saja..

Terima Kasih untuk CINTA ini..
Kau tLah buktikan betapa SUCInyaa,,
Btapa Agung dan TULUSnyaa CINTA ini..
Shngga batu karang pun mampu diluluhkan..

Kita tLah buktikan kpd smua,,
Bhwa CINTA ini bkN nafsu dan sesaat,,
Bhwa CINTA ini adLh pLhan ALLAH utk hdp qtaa..
KrNa aku yakin,,ALLAH akan berikan yg terbaik utk qtaa..

Allah mempertemukan qtaa,,
Allah mendekatkan qtaa,,
Allah menanamkan CINTA di hati qtaa..
pdhL dL qtaa tau smua tak kan mGkn,,

Tapi Allah berikan jLn utk qtaa..
Allah kmbLikan waktu qtaa yg tLah trbuang..
Allah mmbri qta 1 ksmptN yg tk kan terulang..
dan kini,,qta bs bRsMa,,bRdmpGn sLmanyaa..

Aku yakin CINTA yang suci akan sejati..
KrNa aku tLah buktikan btpa suci cinta qta..
Tak kan terGanti oleh apapun sampai kapanpun,,
Dan tak kan gOyah diterjang badai..

Qtaa tLah lalui smua anGin badai tOpaN itu,,
Dan qtaa ttp bRsMa,,tak tergoyahkan..
Kini,,badai itu tLah berLaLu..
Dan qtaa akan sLaLu bririnGan mNju mahLiGai iNdah itu..

Semua karna cinta suci ini,,
Semua karna kesabaranmu menanti,,
Semu karna bantuan ALLAH pula,,
Dan smua tak lain karna doa qtaa..

Aku mNcNtaimuwh,,
sLalu mNcNtaimuwh.....
--> dedicated 4 my luVly suLdiEr,,Letda arh Rizki NardOni

Kamis, 12 Februari 2009

pLuraLismE [oleh IRENA,cdrg]

PLURALITAS SOSIAL

Perubahan-perubahan cepat dalam masyarakat di Indonesia sarat masalah. “Multi-dimensional”, demikian istilah yang selalu menunjuk kejamakan dan kerumitan masalah sosial di negeri ini. Di situ terkadang diperlukan bukan saja satu pendekatan dalam mendiagnosa suatu masalah, sebab, satu langkah terapi sosial terhadap satu masalah sosial, selalu kurang memadai menyelesaikan masalah itu sendiri.

Agama-agama di Indonesia telah lama mengembangkan dialog antar iman sebagai suatu mekanisme penanganan pluralitas masyarakat. Bahkan teologia religionum telah menjadi paradigma teologi yang menempatkan agama-agama sebagai bagian yang sama di dalam masyarakat, bangsa dan negara. Semua agama memiliki hakekat masa depan yang sama, yaitu kesejahteraan, keadilan dan keamanan; atau kasih, keadilan, dan keutuhan ciptaan. Bahkan dalam iklim global, Ethic Global, telah menjadi semacam kaidah dasar kehidupan beragama di dunia. Setiap agama memiliki kedudukan yang setara dan bersama-sama berjuang untuk kemanusiaan.

Di Maluku, format penanganan kehidupan plural, khusus hubungan antaragama telah lama dibangun dari dasar-dasar kebudayaan setempat. Bentuk kebudayaan Pela-Gandong [Maluku Tengah], Kidabela dan hukum larvul ngabal [Maluku Tenggara], merupakan local genus atau kearifan lokal yang ribuan tahun teruji sebagai kekuatan kontrol dan pranata sosial-budaya. Ia mampu mempertahankan harmonitas masyarakat, karena hubungan-hubungan genealogis yang kuat antara satu komunitas dengan komunitas lainnya, termasuk yang berbeda agama.
Sebagai suatu sistem nilai, bentuk-bentuk kearifan lokal itu telah membentuk sensetivitas yang tinggi di kalangan masyarakat Maluku. Suasana hidup saling tolong-menolong dalam berbagai hal, merupakan implementasi dari nilai “basudara” [persaudaraan] yang muncul dari sistem sosial budaya tadi. Pada tataran ideal, sistem-sistem itu mengandung the good and virtue yang telah berkembang menjadi common good and value bagi orang Maluku.

Dari situ, sebetulnya di dalam sistem-sistem budaya masyarakat, terkandung suatu mekanisme pastoral, yakni integrasi dan hubungan interpersonal dalam masyarakat. Suatu mekanisme pastoral yang bertumpu pada hubungan antarindividu, melalui komunikasi-komunikasi sosial. Tokoh-tokoh masyarakat dan para pemangku kebudayaan telah berperan selama ribuan tahun dan pada setiap generasi sebagai konselor yang menterjemahkan relasi persaudaraan sebagai materi-materi pembinaan praktis untuk mempererat kehidupan antara komunitas yang berbeda-beda itu.

Mekanisme-mekanisme itu kemudian dihadapmukakan dengan perubahan gradual dan kontemporer dalam masyarakat. Berbagai kepentingan politik pada skala nasional, dan tarik-menarik di tingkat lokal [daerah] telah menjadikan suatu budaya dominan sebagai tiran atas budaya lokal. Dalam kaitan itu, pluralitas tidak lagi menjadi kekayaan kebudayaan, melainkan menjadi pendulum yang efektif untuk menggerakkan konflik dan perpecahan dalam masyarakat.

Maluku, dengan kenyataan plural itu lalu menjadi arena konflik yang semakin meningkatkan kurva dan piramida korban manusia. Ia juga menjadi peta sungsang akan kehidupan pluralitas agama karena setiap kelompok agama telah membentengi diri dengan eksklusifisme dan sikap-sikap yang radikal dalam beragama.

Masyarakat yang dinamis ini telah ada dalam situasi katastroph, di mana sesekali, karena alasan-alasan tertentu, dapat digiring masuk kembali ke wilayah konflik. Sudah barang tentu tesis itu menjadi relevan karena nilai-nilai moral agama telah tereliminasi oleh berbagai kepentingan, dan akan tetap diperjuangkan sebagai yang dominan atas nilai moral agama kelompok lainnya.

Selama kurun waktu konflik [1999] sampai dengan yang terjadi baru-baru ini [25 April 2004], angka korban manusia terus tinggi. Korban cacat fisik pun terus bertambah, dan yang paling mendasar adalah hilangnya rasa saling percaya [trust] antara satu kelompok agama terhadap lainnya.

Pembinaan moral pada setiap agama akan cenderung merupakan bagian dari usaha mempertahankan status quo, yakni suatu wajah hubungan antaragama yang kaku, karena semangat triumphalistik yang terus menguat. Tantangan ini mesti dapat dijembatani dengan membangun lagi komunikasi antaragama yang bebas dari fanatisme dan menjadi lebih inklusif.
Konflik pastinya telah turut meninggalkan residu bagi teologi, dan juga teologi pastoral. Suatu residu yang turut mempertanyakan reliabilitas teologi pastoral dalam masyarakat plural; teologi pastoral yang juga menjadikan konteks beragama sebagai konteks pastoral itu sendiri.

Konteks mana tanpa disadari membawa dan mengharuskan adanya suatu perubahan paradigmatis, termasuk dan terutama dalam teologi pastoral. Suatu paradigma yang lebih terbuka dan terlepas dari kungkungan eksklusifisme. Oleh sebab itu asumsi yang digunakan untuk membangun tulisan ini adalah perlunya suatu teologi pastoral yang ekumenikal, dalam artian lintas batas denominasi, yakni pastoral yang juga menjangkau komunitas di luar gereja. Suatu teologi pastoral religionum.

1. Kasus: “Ale bakar, beta bakar”
Bagian ini mencoba mengetengahkan sekelumit kasus dalam konflik Maluku sebagai konteks teologi pastoral. Dengan kata lain, dari kasus itu kemudian akan dilihat bagaimana teologi pastoral itu sendiri, atau apa sebetulnya teologi pastoral dalam konteks dimaksud. Kasus ini tentu merupakan penonjolan-penonjolan dalam bentuk aksi dan simbolisasi. Sebab konteks berteologi [pastoral] mengandung di dalamnya tindakan masyarakat serta pandangan hidup yang dapat dilihat dari simbol-simbol yang digunakannya. Berteologi pastoral dalam kaitan itu pula mesti melihat latarbelakang kehidupan, perbuatan, dan idiom-idom [client idioms] yang digunakan masyarakat, termasuk masyarakat plural.

Acang dan Obet
dalam bahasa melayu Ambon
Obet : Acang e, beta su lama seng lia ale. Ale ada bae-bae sa ka?
Acang: Iyo, abis mau biking bagumana, dong masih bakalai di mana- mana, beta su rindu pi skolah
Obet : Iyo, beta lai. Acang ee, jang katong dua baku marah lai e
Acang : Iyo, Obet
dalam bahasa Indonesia
Obet: Acang, sudah lama aku tidak melihat kamu. Apakah kamu baik-baik saja?
Acang : Iya. Bagaimana ya, masih ada konflik di mana-mana. Aku sudah rindu ke sekolah.
Obet : Aku juga. Acang, kita berdua jangan saling memarahi lagi ya
Acang : Iya, Obet

Dialog ini terjadi di antara dua anak berusia sekolah yang berbeda agama. Acang [Salam/Islam] dan Obet [Sarane/Kristen]. Mereka mempresentasikan suatu harapan akan peradamaian, yakni pulihnya hubungan persaudaraan di antara komunitas Salam-Sarene di Ambon.

Dialog mana memperlihatkan pergeseran dalam kehidupan beragama. Relasi berasma telah dipisahkan oleh perbedaan agama masing-masing. Orang tidak bisa lagi berada dalam suatu arena bersama secara simultan, karena sekat-sekat agama telah menebal dan dijadikan sebagai faktor determinan dalam menata hubungan satu sama lain. Dialog Acang dan Obet adalah menunjuk pada idiom-idiom kebudayaan dan agama yang berada pada titik transisi. Bahkan perdamaian sebagai tema bersama semua agama pun termarginalkan oleh konflik. Kemanusiaan sebagai isu mendasar dan tujuan setiap agama juga berada pada ambang keterpurukan, karena melemahnya sistem pertahanan diri masing-masing agama. Agama tidak lagi menjadi tiang moral yang menuntun pada perilaku [attitude] yang manusiawi, tetapi dijadikan alat legitimasi konflik.

Acang dan Obet merupakan representasi adanya pemisahan yang tajam dalam kehidupan masyarakat Maluku. Tradisi sosial, sebagai cerminan kehidupan masyarakat plural tereliminasi oleh emosi-emosi keagamaan yang sempit.

Donald A. Groskreutz menyebutnya sebagai suatu perkembangan dinamis dalam kehidupan personal seseorang atau sekelompok yang didasarkan pada dinamika perubahan sosial.Konflik telah membawa perubahan secara gradual dalam kehidupan sosial dan agama di Maluku. Perubahan mana berpengaruh terhadap kehidupan setiap individu dan kelompok. Termasuk di dalamnya umat beragama.

Irama dan intensitas konflik akan turut berpengaruh dalam hubungan antar dan interpersonal di Maluku. Demikian pun dalam hubungan antar agama. Suatu corak kehidupan yang egaliter dan harmonis akan sulit dijumpai dalam masyarakat plural di Maluku, karena konflik telah menjadi back mind pada diri setiap orang. Ia dapat menjadi sebab “trauma” tertentu dalam memulai setiap hubungan.

2. Teologi Pastoral yang Inter-religion
Konteks hubungan beragama di Maluku menantang diperlukannya suatu teologi pastoral inter-religion. Tema inter-religion telah lama dibicarakan dalam kaitan dengan missiologi. Suatu tema yang menempatkan setiap agama dalam horizon dialog dan kerjasama. Namun ia sering terganjal oleh faktor-faktor dogmatis dan fanatisme kelompok.

Untuk urusan ini, teologi pastoral tidak harus berkutat pada dokumen-dokumen agama yang verbalis, melainkan masuk ke dalam “living human documents” dan dari sana mempercakapkan persoalan kemanusiaan manusia melalui bahasa agama yang mampu mengangkat mereka.
Konteks konflik dan pluralitas di Maluku memerlukan paradigma baru dalam teologi pastoral. Di sini dialog menjadi kekuatan kunci dari teologi pastoral. Dan dialog di sini mesti benar-benar menggunakan matra bahasa agama, bukan hanya sebagai data yang harus direfleksikan, melainkan juga dievaluasi dan ditafsir untuk suatu kebutuhan pemanusiaan manusia.

Dialog yang dimaksudkan di sini adalah dialog antar-personal, dialog antar-profesional, dan/atau inter-disipliner, dengan melibatkan pula ilmu-ilmu manusiawi lainnya [geistesweissenschaften – Schleiermacher dan Dilthey]. Tentu dialog yang diharapkan adalah dialog yang menghasilkan buah [condition for fruitful dialogue], oleh sebab itu diskusinya mesti difokuskan pada masalah-masalah bersama dari sifat-sifat manusia dan menuju suatu transformasi.

Dengan dialog itu, kita menggunakan seluruh kemampuan “mendengar’ [listening skill] untuk dapat mengerti dan memasuki dunia klient, yang mungkin kebetulan berbeda agama dengan kita. Ini bertujuan untuk memahami karakter klient dan dari situ bagaimana merumuskan metode pendampingan [pastoral care] yang tepat.

Mengenai pentingnya dialog ini, Hiltner, seperti dalam Leighton M. McCutchen, telah merintis suatu model yang patut dipertimbangkan pula dalam konteks plural, yaitu bentuk “conversational” [percakapan]. Dengan itu, Hiltner, seperti dijelaskan
McCutchen, memaksudkan adanya suatu “ciritical investigation” yang bertujuan untuk memahami perspektif agama atau sudut pandang personal.

Dalam konteks itu, agama ditempatkan di dalam dialog antarperson, dan ia mesti menjadi bagian dari konsern gereja, tetapi juga konsern ilmu dan metodologi teologi. Sebab, teologi pastoral, dengan kekuatan dialog itu, menjangkau komunitas di dalam dan di luar gereja.

Di teologi pastoral adalah suatu perjumpaan dan percakapan [encounter and conversation]. Ia bukan lagi suatu disiplin dan norma di dalam gereja, tetapi menjangkau segmen-segmen sekuler di luar batasan gereja itu. Masuk ke dalam horizon pergaulan antar umat beragama. Namun demikian, ia masih tetap harus dibedakan dari model-model pelayanan sekuler lainnya. Suatu corak religion caring and counseling yaitu suatu relasi pelayanan interpersonal dalam perspektif yang utuh dari kehidupan manusia. Ia harus dapat membuat masyarakat terbebas atau membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh yang merusak, termasuk konflik itu pula.

Di dalam teologi pastoral seperti dimaksudkan tadi, maka setiap komponen agama memainkan peran kunci dalam mengembangkan dialog yang menyejukkan. Setiap relasi antar agama harus ditempatkan dalam perspektif reconciling sebagai salah satu fungsi teologi pastoral.

Clebsch secara khusus mendiskusikan fungsi ini dengan melihat bukan saja memulihkan relasi antar manusia, tetapi juga relasi beriman dengan Tuhan. Oleh sebab itu, reconciling meliputi aspek mental, spiritual, dan iman. Di dalam reconciling penting sikap “mengampuni”, dan melupakan masalah lama yang menyebabkan terjadinya suatu kondisi trauma. Demikian pun tindakan pengampunan Tuhan terhadap manusia adalah suatu proses reconciling hubungan Tuhan dengan manusia itu. Pada sisi ini, reconciling terkait dengan pengampunan dosa.

Dengan begitu, teologi pastoral yang inter-religion adalah juga suatu tindakan pembebasan dan pemersatu. Ia harus menggerakkan elemen-elemen sosial lintas agama untuk mempromosikan rekonsiliasi masyarakat. Suatu hubungan harmoni yang terlepas dari beban “gelap” di masa lampau, dan bersama menata kehidupan ke masa depan dalam kerangka perdamaian dan kesetaraan.
PLURALISME AGAMA
Upaya Memahami Pluralisme Agama
Pluralism is precisely, because of the cultural diversity of the world that it is necessary for different nations and peoples to agree on those basic human values, which will act as a unifying factor (Aung San Suu Kyi, Burma, 1991).

Pluralitas agama, budaya, ras, bahasa, dan adat istiadat yang dimiliki bangsa Indonesia, jelas merupakan kekayaan spiritual yang tidak ternilai untuk terus dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini. Namun, pluralitas ini sering kali dijustifikasi sebagai faktor penghambat dan penghalang kita untuk dapat saling bekerja sama dan berbagi kebahagiaan dengan mereka yang berbeda. Argumentasi perbedaan yang merupakan keniscayaan dalam kehidupan sehari-hari, oleh sebagian kelompok masyarakat justru dianggap sebagai suatu ancaman serius bagi keberadaan dan keberlangsungan hidup kelompoknya.
Dalam konteks ini, Derrida mengungkapkan jalinan yang cukup erat antara gagasan tentang etika universal (universal ethics) dan kekerasan (violence) terhadap yang lain. Menurut Derrida, upaya untuk menciptakan suatu etika yang dilatarbelakangi konsep universal pada akhirnya akan meniadakan “otherness” dan perbedaan. Kekerasan muncul dikarenakan cara pandang kita yang cenderung masih dibatasi oleh pemikiran “logosentris”.
Salah satu ciri dari cara berpikir logosentris adalah adanya upaya dari otoritas tertentu untuk mengubah keberagaman agama dan budaya menjadi kekuatan-kekuatan untuk mengatur dan menyatukan perbedaan sedemikian rupa, sehingga alam pemikiran kita dikuasai nalar dogmatis yang membenarkan dirinya sebagai Kebenaran Abadi (final truth).
Logosentris juga cenderung menutup diri (isolated) dan sama sekali tidak melihat faktor-faktor kesejarahan, sosial, budaya, dan etnik ma-syarakat, sehingga pada akhirnya menjadikan satu-satunya wacana yang harus dikuliti secara seragam dan memaksakan tindakan peniruan buta.
Di samping itu, logosentrisme juga lebih mengutamakan sebuah wacana lahir yang terproyeksikan dalam ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaidah-kaidah bahasa, dan cenderung mengulang-ulang sesuatu yang lama. Wacana batin yang melampaui batas-batas logosentris melalui kekayaan spiritual cenderung diabaikan (Arkoun, 1994).
Sehubungan dengan pluralitas bangsa Indonesia, menarik memerhatikan tesis Partha Chatterjee (1986) yang menjelaskan bahwa nasionalisme dalam konteks kolonial dihadapkan dengan persoalan yang memiliki karakter tertentu.
Memasuki konteks pascakolonial, Indonesia saat ini memiliki begitu banyak keberagaman etnik, agama, bahasa, dan juga budaya. Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan untuk membangun suatu identitas nasional dan mewujudkannya bersama-sama, secara bersamaan akan menampilkan berbagai macam perbedaan persepsi dan pemaknaan atas pembentukan identitas tersebut. Hal ini terjadi karena identitas individu atau kelompok selalu berhubungan dengan apa yang disebut sebagai “narrative identity” (Paul Ricoeur, 1998). Menurutnya, individu maupun kelompok sosial membentuk identitasnya dengan menceritakan berbagai kisah mengenai mereka, yang akhirnya mengkristal menjadi sejarah.
Seperti halnya suatu cerita, identitas naratif ini memiliki komponen historis dan komponen fiksional. Komponen historisnya terikat dengan argumen, verifikasi, dan kesetiaan terhadap peristiwa (events); sedangkan komponen fiksional menggunakan variasi-variasi imajinatif berhubungan dengan apa yang terjadi untuk menciptakan pemahaman-pemahaman baru dan cara-cara baru untuk melihat segala hal. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran baru bahwa kita tidak hidup sendirian (homo socious), di mana kita hidup berdampingan dalam suasana keberagaman (plural) dalam segala bidang kehidupan: agama, budaya, bahasa, politik, dan juga etnik.
Memposisikan Indonesia saat ini, kita menyaksikan bahwa pluralisme agama masih menjadi persoalan yang sering kali memunculkan konflik dan pertikaian. Refleksi baru tentang agama, budaya, dan masyarakat dalam sudut pandang pluralisme dibutuhkan. Refleksi baru ini setidaknya dapat mewujud dalam tiga bentuk pemahaman tentang pluralisme, yaitu pertama, berhubungan dengan sikap personal, mengenai posisi yang kita ambil vis-to-vis pluralitas itu sendiri. Di sini, persoalan-persoalan yang sering muncul adalah hubungan kita dengan agama dan budaya lain. Penting menjadi pertimbangan dalam upaya-upaya mencari cara yang tepat untuk mendamaikan klaim-klaim kebenaran kita dengan klaim-klaim kebenaran orang lain, sehingga klaim-klaim tersebut tidak mengkristal dalam wujud eksklusivisme dan fanatisme sesaat.
Perlu pula dikembangkan kesadaran tentang pluralitas agama sebagai isyarat bahwa masing-masing agama nyata-nyata memiliki karakter yang tidak dapat direduksi dan tidak bisa dijadikan bahan perbandingan. Di era milenium ini, kita memiliki tugas untuk menemukan solusi yang dapat diterapkan dalam menuju pluralitas agama dan mencari solusi untuk memahami kesadaran akan pentingnya keberadaan pluralitas agama, supaya dapat didamaikan dengan bentuk-bentuk historis dan aktual yang berbeda.
Kedua, kepedulian terhadap koeksistensi dari agama-agama yang berbeda, dan perhatian yang meningkat dalam menyikapi komunikasi antaragama (dialogis). Di sini, persoalan yang sering dibicarakan adalah tujuan, prasyarat, dan modalitas-modalitas yang dipergunakan untuk melakukan komunikasi antarumat beragama, harapan-harapan dari terjadinya komunikasi antarumat beragama, dan konsekuensi-konsekuensi dari komunikasi ini terhadap pemaknaan dan pemahaman agama masing-masing.
Ketiga, munculnya beberapa meta persoalan tentang pluralitas agama. Pada tingkatan ini, perhatian umumnya diberikan untuk menjawab persoalan karakteristik dan batas-batas dari dua konsep elementer yang berlaku dalam refleksi tentang pluralitas agama dan pertemuan antaragama, yakni “agama” dan “komunikasi”. Kemudian dirumuskan berbagai upaya untuk melaksanakan konsep-konsep tersebut pada tataran praksis dalam konteks hubungan antaragama yang dialogis.
Perhatian akan bahasa dan wacana bersama juga diperlukan pada tingkatan ini untuk mewujudkan pertemuan antaragama yang harmonis dan jauh dari sikap curiga. Komunikasi intensif juga dapat diupayakan dengan menempuh langkah-langkah pembaruan dan pengkajian ulang atas pemahaman agama masing-masing yang selama ini terbatas pada batas-batas sempit pengetahuan dan alam kesadaran kita. Dalam pencapaian langkah-langkah tersebut, diperlukan juga refleksi ulang tentang keberadaan umat beragama lain, partisipasi gender, dan dialog antaragama yang tidak hanya dibatasi oleh lembaga keagamaan yang cenderung formalistis dan sempit pemahamannya.
ISLAM dan PLURALITAS AGAMA
Melalui AI Qur’an kita tahu bahwa Islam adalah (agama) kebenaran dari Tuhan (AI Baqarah/2:147); Islam adalah satu-satunya agama yang diridai Tuhan (Ali Imran/3:19); Islam adalah agama lurus, petunjuk jalan hidup manusia (AI An’am/6:153).

Meskipun begitu Tuhan masih memberi hak bagi orang lain untuk tidak beriman (dalam Islam): “Dan jikalau Tuhanmu mengendaki, tenlulah beriman semua arang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya” (Yunus/10:99). Dan karena itu pula Islam hadir bukan untuk menghancurkan agama lain. Islam bahkan secara penuh menjamin kemerdekaan beragama: “Tidak ada paksaan (memasuki) agama (Islam)” (AI Baqarah/2:256) “Untukmu agamamu dan unlukku agamaku” (Al Kafirun/109:6).

Pesan-pesan penting AI Qur’an di alas sekaligus menunjukkan betapa Islam sangat menghargai pluralitas agama. Ajaran pluralitas Islam itu bisa disarikan sebagai berikut: (1) agama Islam adalah ajaran kebenaran (2) selain agama Islam, ada agama lain yang perlu dihormati (3) masing-masing pemeluk agama harus tetap memegang teguh ajarannya.
Ketiga ajaran pluralitas di atas, tentu saja, tidak menghendaki sikap-perilaku yang saling kontradilaif. Di antara sikap-perilaku kontradiktif yang sering terjadi adalah: (1) sikap yang menganggap semua agama sama, dalam pengertian sama-sama bernilai benar di sisi Allah (2) memaksa pemeluk lain berpindah agama (3) menghancurkan agama lain, termasuk membunuh pemeluknya atau membakar tempat ibadahnya (4) bertukar ajaran agama layaknya bergonta-ganti baju (karena menganggap semua baju baik = semua agama sama/benar), termasuk diantaranya mengikuti ritual agama lain.
Dengan memahami ajaran pluralitus agama di atas maka akan terlihat bahwa fenomena-fenomena berikut ini tidaklah patut dilakukan: pertama, proyek kristenisasi yang dilakukan oleh agama Kristen terhadap pemeluk agama Islam. Fenomena ini, dalam kaitannya dalam pluralitas agama, menunjukan dua hal: (1) tidak adanya kesadaran dari elit proyek kristenisasi untuk tidak memaksa pemeluk Islam berpindah agama Kristen. Proyek kristenisasi ini terkategori memaksa karena perpindahan agama di situ bukan didasarkan pada pencarian kebenaran secara obyektif, malainkan hanya karena paksaan (iming-iming) kesejahteraan ekonomi (2) masih banyaknya pemeluk Islam yang tidak mampu berpegang teguh pada kebenaran ajaran islam, sehingga secara mudah dipaksa berpindah agama.
Kedua, masih banyaknya pejabat Muslim, dengan dalih toleransi, yang mengikuti ritual (perayaan) Natal atau adanya beberapa tokoh Muslim yang pergi ke gereja, menunjukkan bahwa mereka tidak konsisten untuk berpegang teguh terhadap ajaran agamanya sebagaimana yang dikonsepkan oleh pluralitas agama, sebab dalam fenomena tersebut ada indikasi terjadi saling tukar-menukar ibadah ritual.
Ketiga, upaya sistematis pemusnahan penduduk Muslim dari Maluku (Utara) yang dilakukan penduduk Kristen lewat teror, pengusiran, pembumihangusan, dan pembunuhan massal, di samping sebagai pelanggaran HAM, juga, dalam kaitan kajian ini, adalah tindakan yang sangat tidak mengindahkan sama sekali kaidah pluralitas agama yakni keharusan menerima kenyataan bahwa selain dihuni oleh penduduk yang beragama Kristen, kepulauan Maluku (Utara) juga didiami oleh penduduk Muslim), yang patut dihormati.
Dengan alasan yang sama, pembakaran gereja di Mataram atau di Yogyakarta juga tidak bisa tidak dibenarkan, sebab dengan pembakaran itu, terkandung unsur tiduk diindahkannya kaidah pluralitas agama yang berbunyi: “selain Islam, ada agama lain yang perlu dihormati”.
Jika kaidah-kaidah pluralitas agama seperti di atas, satu saja dilanggar oleh salah satu pemeluk agama, dan pelanggaran itu mengganggu kehormatan (pemeluk) agama lain, tentu akan terjadi disharmonisasi kehidupan bersama, bahkan sampai bentuk yang terberat sekalipun, konflik atau perang. Pelanggaran dan akibat pelanggaran terhadap kaidah pluralitas agama itu akan mengikuti hukum aksi-reaksi atau sebab-akibat.
Pemaksaan kepada pemeluk agama Islam untuk berpindah ke agama Kristen lewat proyek Kristenisasi akan menimbulkan tindakan pelanggaran lain terhadap kaidah pluralitas agama, misalnya pembakaran gereja yang dianggap menjadi pusat (perencanaan) Kristenisasi. Kasus pembakaran kompleks Dolulos mungkin bisa dijelaskan dengan hukum aksi-reaksi ini. Pembakaran gereja di Mataram dan Yogyalarta, dalam konteks ini pun, tidak akan terjadi jika tidak ada upaya sistematis pemusnahan umat Islam di Maluku (Utara).
Demikianlah seterusnya yang terjadi jika terjadi pelanggaran terhadap kaidah pluralitas agama. Setiap ada pelanggaran akan memunculkan pelanggaran baru.
MASYARAKAT RELIGIUS PLURALITAS AGAMA DAN MADZHAB
“Kebebasan bukanlah apa-apa, selain kesempatan untuk menjadi lebih baik, ia akan muncul ketika kita tak memiliki lagi tempat untuk melarikan diri.”
Islam merupakan Rahmatan lil alamin atau rahmat bagi seluruh alam semesta. Hal tersebut merupakan sebuah penegasan bahwa islam bukanlah hanya sekedar untuk pemeluknya semata, namun lebih pada tingkat manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan. Islam dengan sifatnya yang universal tidaklah terbatas atau terkotak-kotak pada satu daerah atau satu budaya semata (budaya Arab pada umumnya) mengingat bahwa agama atau keyakinan bersifat borderless.
Dalam urusan pemerintahan pun, tidak ada suatu keharusan bahwa pemerintahan memiliki bentuk tertentu. Bentuk kekhalifahan tunggal seperti zaman Rasulullah Saw juga bukanlah suatu keharusan yang harus diikuti mengingat zaman terus berkembang dengan segala permasalahannya. Sama juga dengan istilah negara Islam yang jauh dari ajaran dan aturan hukum Islam yang pada saat ini sering digembar-gemborkan sebagai suatu solusi keluar dari krisis.
Agama adalah suatu ruang pribadi bagi setiap individu dan tidaklah tepat jika dilembagakan. Adanya pelembagaan agama justru menurunkan nilai sakral dari agama itu sendiri. Jika ada kesalahan yang terjadi pada lembaga tersebut, mau tidak mau pandangan orang akan melihat bahwa itu adalah ajaran dari agama tersebut, sementara kesalahan tersebut adalah semata-mata kesalahan orang yang menjalankannya. Kritik yang dilakukan terhadap lembaga atau personal didalamnyapun menjadi seakan-akan kritik terhadap agama tersebut. Jadi perlu ditegaskan bahwa kritik yang terjadi adalah kritik terhadap cara beragama, bukan pada agamanya.
Sudah saatnya kita mulai mengembalikan suatu hal sesuai pada peran dan posisinya. Pokok permasalahan adalah bagaimana menjalankan aturan main yang telah ditetapkan dan diakui serta terbukti ke otentikannya dalam menuju masyarakat religius yang terbebas dari kepentingan personal atau golongan. Islam sangat menghargai berbagai perbedaan, termasuk didalamnya perbedaan beragama, toleransi berbeda pendapat ini di tegaskan dalam Al-Qur'an surat al-Baqoroh ayat 256 : " tidak ada paksaan dalam memeluk agama ".
Tetapi fenomena pluralisme yang menganggap semua agama adalah benar menuju kebenaran yang sama, dan menganggap sombong orang yang mengklaim bahwa hanya agamanya sajalah yang paling benar sudah merajalela. Umat islam indonesia sekarang memiliki babak baru yang sangat menentukan untuk masa depannya. Arus sekularisasi dan liberalisasi yang kini diusung dan digelindingkan sendiri oleh sejumlah tokoh, cendikiawan dan organisasi-organisasi islam telah menemukan bentuknya yang mendekati apa yang terjadi didunia Yahudi dan Kristen yg kini dipaksakan terhadap Islam sejak sekarang sudah harus mulai dipikirkan.
Perbedaan pendapat merupakan fenomena lazim, atau fenomena alamiah, termasuk perbedaan pendapat, baik yang bersifat substantif maupun skriptural. Tatkala substansi yang menjadi landasan perbedaan cara pandang terhadap suatu pendirian atau keyakinan, komitmen terhadap kebenaran atau keyakinan yang dipilih (harus) menjadi syarat agar perbedaan itu bisa bersanding dalam kedamaian.

Sedangkan tatkala perbedaan pendapat diakibatkan oleh penggunaan definisi leksikal atau penafsiran kontekstual yang berbeda, upaya mencari titik temunya harus dimulai dari penggunaan dan pemahaman semantik serta rujukan yang sama. Diskursus yang muncul akhir-akhir ini berkenaan dengan beberapa konsep keagamaan dan pengamalannya bisa diperuncing dengan salah satu atau semua penyebab tersebut --termasuk yang menyangkut konsep pluralisme agama-- baik yang menyangkut masalah antaragama maupun intraagama.
Hubungan Pluralisme dan Pluralitas Agama
MUI mendefinisikan pluralisme agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama relatif. Oleh karena itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. "Dalam bahasa aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain," kata Ma'ruf Amin.

Namun demikian, bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk lain (pluralitas agama) dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.

Ditempat terpisah, Ma'ruf Amin yang datang ke kantor PBNU, ketika ditanya tentang fatwa MUI yang menimbulkan pertanyaan, dia mengatakan, "Kami melihatnya dari sisi syariah, bukan pemikiran. Ada patokannya."
Mengenai adanya perbedaan di antara tokoh-tokoh dan pemikir di kalangan NU, Rais Syuriah PBNU itu menilai, selama patokannya bukan syariah, tidak bisa dikomentari.
Seusai penutupan munas, Ketua Komisi Fatwa MUI Ma'ruf Amin mengemukakan, salah satu fatwanya juga menyatakan haram menganut paham pluralisme agama. Begitupun terhadap paham sekularisme dan liberalisme agama. MUI berpendapat bahwa paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme adalah bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Ma'ruf berpendapat, mesti dibedakan antara pluralisme dan pluralitas. "Kalau pluralitas dan saling menghargai itu harus, tapi pluralisme tidak," katanya. Pernyataan teersebut didukung kebenarannyaa oleh al-Qur’an dalam surat al-Hujurat [49]:ayat13. (Publikasi 01/08/2005 08:52 WIB, glorianet)
MUI mendasarkan pandangan-pandangannya itu pada sejumlah ayat di dalam Alquran. Misalnya, [1] QS Ali Imran (3): 85, [2] QS Ali Imran (3): 19 [3] QS Al-Maidah (5): 3. [4] QS An-Nisa (4): 144 [5] QS Yunus (10): 19 [6] QS Hud (11): 118

Kelompok yang menerima pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan yang tak terhindarkan, biasanya berpandangan bahwa agama semua Nabi adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik-titik persamaan sebagai benang merah yang mempersambungkan seluruh ketentuan doktrinal yang dibawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi-dimensi yang bersifat teknis-operasinal bukan yang substansial-esensial, seperti tentang mekanisme atau tata cara ritus peribadatan dan sebagainya. Terdapat ayat yang menjadi menu favorit di kalangan kelompok kedua ini. Misalnya, [1] QS Al-Kafirun (109):6 [2] QS Al-Baqarah (2): 256. [3] QS Al-Maidah (5): 69, [4] QS Al-An'am (6): 108. Melihat realita di atas, maka muncul tarik tambang antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. (Media Indonesia 06/08/2004)

Pada kenyataannya, agama tidak jarang menjadi salah satu faktor pemicu ketegangan dan konflik, baik di antara sesama penganut (internal) agama itu maupun dengan penganut (eksternal) agama lain. Dalam hal ini, agama malah menjadi sumber permasalahan (problem maker). Ketika dipahami dan dihadapkan pada realitas sosial, agama sebagai kumpulan wahyu Tuhan ternyata bisa melahirkan berbagai konflik di antara manusia.
Akibatnya, hubungan antarumat beragamapun diwarnai sikap saling curiga, apriori, dan tidak toleran terhadap penganut agama yang berbeda. Salah satu penyebab berbagai peristiwa kekerasan yang berdimensi agama di tanah air adalah faktor keberagamaan yang tanpa memahami secara benar arti dari agama itu sendiri. Meski, tidak menutup kemungkinan faktor-faktor lain seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya turut memberi warna dan sentimen dalam konflik tersebut.



Menyikapi pluralitas agama

Untuk menghambat laju konflik yang berdimensi agama itu, tampaknya, kita memang harus merumuskan kembali cara pandang dan pemahaman terhadap agama kita sendiri dan agama orang lain, termasuk merumuskan cara kita mesti hidup dengan kelompok-kelompok lain (others).
Dalam konteks ini, ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk mencapai pluralitas agama yang bertoleransi dan saling menghargai,

Pertama, model pluralisme yang bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing, hal ini telah dicontohkan Rasulullah SAW, baik dalam tuturan maupun tindakan. Dalam meneladani beliau, tentu saja kita diharapkan tidak terpaku pada formalitas lahiriah, apalagi bila karena itu melupakan esensi ajarannya.

Agar teladan itu berdampak pada kehidupan keagamaan kita, ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kita harus mampu menyosialisasikan semangat ajaran serta keteladanan Nabi. Toleransi dan moderasi yang beliau ajarkan harus senantiasa menjadi acuan dan pedoman dalam interaksi. Di antara sekian banyak contoh yang ditunjukkan Nabi, adalah kelapangan dada beliau mengizinkan delegasi Kristen Najran yang berkunjung ke Madinah untuk berdoa di kediaman beliau. Sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Islam Auf bin Burhanuddin al-Halaby al-Syafi'i dalam bukunya al-Shirah.

Sebaliknya, pada saat-saat kritis perjuangan Nabi di Makkah, Raja Abissynia atau Ethiopia, yaitu Raja Najasyi atau Negus --yang beragama Kristen-- melindungi umat Islam. Sampai-sampai, ketika wakil masyarakat Arab Jahiliyah memintanya untuk mengekstradisi pengikut Nabi ke Makkah, Negus menolak. Negus berkata: ''Apakah engkau meminta aku menyerahkan pengikut Muhammad, seorang yang telah didatangi malaikat Jibril? Demi Tuhan, ia (Muhammad) benar, dan ia akan mengalahkan musuh-musuhnya.''

Saat Nabi Muhammad SAW menjadi penguasa di Madinah, beliau berpesan: ''Siapa yang mengganggu umat agama samawi, maka ia telah menggangguku.'' Kedua, kita semua sebagai bangsa, harus mampu memahami kepekaan masing-masing menyangkut kecintaan serta ikatan batin dengan panutannya. Umat Islam, demikian pula umat agama lainnya, seyogyanya tidak terpengaruh oleh sejarah konflik yang pernah terjadi di dunia luar. (Alwi Shihab 10/08/2005, Republika)

Kedua, tokoh Perbandingan Agama Indonesia, A. Mukti Ali (alm.) yang juga mantan Menteri Agama RI di awal tahun 70-an, setelah melakukan studi terhadap beberapa pemikiran tentang kerukunan hidup beragama, sampai kepada kesimpulan bahwa teori yang paling tepat untuk menyikapi pluralitas agama, khususnya dalam konteks Indonesia adalah apa yang ia sebut agree in disagreement.
Secara terminologis istilah ini berarti “setuju dalam ketidaksetujuan” atau ”setuju dalam perbedaan”. Mukti Ali menulis: ”Setuju dalam perbedaan berarti orang mau menerima dan menghormati orang lain dengan segala totalitasnya, menerima dan menghormati orang lain dengan seluruh aspirasinya, keyakinannya, kebiasaannya dan pola hidupnya, menerima dan menghormati orang lain dengan kebebasannya untuk menganut agamanya” (Mukti Ali, 1978:84-5).

Ketiga, dialog antar umat beragama yang dimaksudkan sebagai upaya menciptakan saling pemahaman tentang agama lain, baik secara khusus mengenai konsep keagamaan maupun secara umum membicarakan persoalan bersama yang membutuhkan kerjasama pada tataran sosiologis. Karenanya dialog bisa dilakukan, baik misalnya untuk memahami konsep ketuhanan versi masing-masing agama, maupun untuk mendialogkan pememberantasan perjudian di masyarakat dari kacamata agama-agama. Dengan demikian dalam dialog tidak ada motivasi provokasi, ajakan konversi, maupun upaya-upaya pendistorsian dan pereduksian terhadap suatu agama dan sebaliknya mengunggul-unggulkan agama tertentu. Dialog tidak dimaksudkan untuk mengkomparasikan konsep agama-agama untuk kemudian digiring ke arah rekonsepsi sambil meneguhkan eksistensi konsep agama tertentu. Dialog juga bukan ajang untuk membongkar pasang dan mengutak-atik keimanan, menuju pemahaman bahwa semua agama sama saja.

Seringkali dialog antarumat beragama terkesan menjadi arena tarik-menarik dan pamer kebenaran serta dimanfaatkan untuk menelanjangi perilaku personal umat beragama tertentu, sambil menggiringnya pada pemahaman bahwa itu merupakan perilaku kolektif sebagai aplikasi konsep agama, meski sesungguhnya itu semata penyelewengan ajaran agama. Bila ini yang terjadi, maka dialog telah dipolitisir untuk kepentingan pragmatis yang pada akhirnya justru akan menciptakan intoleransi, alih-alih menghasilkan mutual understanding. Pihak yang merasa tergiring dan terpojok dalam dialog, diam-diam akan memendam ketidaksenangan dan bisa saja menjadi mesiu untuk membakar rasa permusuhan antar umat beragama.

Dialog hanya bertujuan sebatas menciptakan mutual understanding untuk kemudian menciptakan agree indisagreement antar umat beragama. Sejak dialog berlangsung hingga akhir, yang terbangun hanyalah saling mengetahui, mengenal dan bisa memahami bahwa ternyata dalam kepercayaan umat beragama lain, konsep tentang sesuatu dimengerti dan diyakini seperti itu. Konsep itu bisa saja sama, berbeda, bertentangan, ataupun hampir relevan. Semua peserta dialog harus bisa menyetujui bahwa memang perbedaan-perbedaan menjadi realitas dan keniscayaan yang tidak bisa diingkari. Tetapi perbedaan itu bukan menjadi alasan untuk saling mengklaim, apalagi mengabsahkan konflik. Inilah yang dimaksudkan setuju dalam perbedaan, kita bersama setuju bahwa kita memang memiliki perbedaan-perbedaan yang tidak bisa dan memang bukan untuk disamakan. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam surat al-Maidah[5]:48 "Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan"

Mukti Ali mendasarkan teori agree indisagreement pada prinsip bahwa seorang pemeluk agama terlebih dulu harus percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik. Tetapi di antara agama-agama, selain perbedaan menjadi realitas, juga terdapat persamaan-persamaan yang bisa menjadi jembatan untuk saling menghargain namun persamaan-persamaan itu tidak untuk mereduksi keyakinan atas agama sendiri. Mukti Ali menyebut, memeluk suatu agama tanpa keyakinan terhadapnya sebagai yang paling baik dan paling benar, adalah sebuah kebodohan. Sebaliknya dengan keyakinan mendalam sebagai paling baik dan benar, maka ia akan menjadi motivasi untuk menyelaraskan perilaku dengan tuntunan agama dan menjadikannya sebagai pedoman. Agama harus menjadi an acute fever (demam yang akut) dalam ungkapan William James, barulah agama itu berguna bagi pemeluknya. Tanpa itu agama akan ditinggal pemeluknya, atau hanya sekedar identitas tanpa makna.

Keempat, agama dan politik (negara). Dalam catatan sejarah, hubungan agama dan negara sering menimbulkan banyak problem. Politisasi agama dilakukan para birokrat negara demi kepentingan dan target tertentu. Konflik agama dan negara merupakan contoh yang sangat gamblang. Di tangan para elite negara, agama sering digunakan sebagai legitimasi kepentingannya. Begitu pula sebaliknya, negara dalam pandangan para agamawan sering dipahami sebagai media misionaris, menyebarkan ajaran-ajaran agamanya melalui kebijakan negara.

Kelima, transformasi pengetahuan. Pemahaman agama yang benar dan akurat dengan mengedepankan dalil-dalil yang kuat dari al-Qur'an dan as-Sunnah sering berhenti hanya di tingkat elite. Sebab, yang berseteru lebih banyak dari masyarakat bawah (grass root society), bukan kalangan elite (agama-negara). Mereka (masyarakat) hanya dijadikan alat bagi kelompok tertentu untuk memusnahkan kelompok lain. Hal tersebut, antara lain, disebabkan gagalnya transformasi pemahaman yang kurang merata kepada masyarakat secara umum.

Dengan demikian, penting kiranya membuat mekanisme transformasi pemahaman agama yang benar kepada masyarakat secara umum sebagai salah satu upaya meminimalkan adanya ketegangan di antara pemeluk agama.
Akhirnya, agama dalam cetakan baru bukan merupakan sebuah agama baru, tetapi sebuah rumusan agama yang menyuguhkan nilai-nilai inklusivisme(dalam masalah sosial yang tidak menyangkut aqidah dan ibadah), humanisme, serta bersifat transformatif kepada segenap ruang-ruang kehidupan.

Perbedaan madzhab
Tidak bisa kita pungkiri bahwa ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam kitab suci al-Qur'an harus terus-menerus ditafsirkan sesuai perkembangan masyarakat di berbagai tempat dan masa. Ini bukan karena ajaran Islam perlu dicocok-cocokkan secara oportunistik dengan
perkembangan situasi, melainkan karena tuntutan zaman dan kekhasan lokalitas memang secara objektif niscaya mengharuskan demikian.

Keharusan ini muncul karena alasan sederhana yang azasi masyarakat manusia niscaya menghadapi aneka masalah dengan segenap karakteristik masalah-masalah tersebut, baik yang timbul dari nalurinya untuk menghindari keburukan yang mungkin menimpanya maupun justru guna mengejar kebaikan demi kelangsungan dan kesejahteraan hidupnya, secara pribadi maupun kelompok.

Sudah tentu perkembangan situasi yang proliferasinya tak terbatas itu tidak mungkin diakomodasi oleh ajaran agama maupun filsafat manapun. Karena itu keharusan penafsiran tanpa-henti - yang berarti pemerkayaan makna dan upaya perelevansian dengan situasi dan kebutuhan temporal – merupakan keniscayaan sosiologis dan historis, yang didukung oleh prinsip ajaran agama itu sendiri. Skema ini tentu saja mencakup ide bahwa suatu tafsir untuk isu tertentu di masa tertentu bisa tidak cocok lagi, sehingga tafsir itu sendiri harus ditafsir pula (diperkaya, diperluas, tapi juga mungkin "disiangi" sebagian unsurnya).

Sikap responsif Islam terhadap situasi ini, bahkan sikap religius yang mempertimbangkan budaya dan kebiasaan (adat, 'urf) yang sudah ada di suatu tempat, sepenuhnya dipahami sebagai hal yang biasa saja oleh para ulama klasik dan diikuti sampai sekarang oleh para ulama kotemporer (prinsip "adat adalah sumber hukum" di terima luas oleh mereka). Itu sebabnya mazhab fikih tidak pernah tunggal. Sejarah mencatat pada abad ke-2 Hijriah saja setidaknya terdapat 19 mazhab fikih. Kini dunia Islam mengenal empat mazhab fikih utama dalam Sunni dan satu dalam Syiah.

Opini hukum mereka berbeda-beda, sesuai pengetahuan dan perspektif mereka dalam melihat suatu masalah yang diajukan oleh masyarakat tempat mereka hidup kepada mereka. Lazimnya, opini hukum yang mereka ajukan disertai pernyataan rendah hati bahwa jika pendapat mereka itu dirasa maslahat oleh publik, maka kebaikan/kebenaran itu berasal dari Allah, dan jika ternyata keliru, maka kekeliruan itu adalah lantaran kelemahan sang fakih dan publik dipersilakan untuk merujuk opini lain, tentu saja termasuk opini para yuris mazhab lain.

Jangankan diantara para tokoh mazhab yang berbeda, di kalangan para pemuka semazhabpun opini mereka bisa berbeda. Fuqaha mazhab syafi'i di Arab Saudi bisa berbeda opini hukumnya dari pendapat fuqaha Syafi'i di Nigeria dalam satu masalah. Bahkan, Syafi'i sendiri merombak banyak pendapat awalnya (ketika tinggal di Iraq) dan menggantinya dengan opini baru (setelah menetap di Mesir). []Wallahu a'lam
Pluralitas di tubuh kaum NU tidak terelakkan. Ada yang menyebut bukan lagi pluralitas, tetapi cenderung sebagai stratifikasi (pelapisan) sosial. NU tidak bisa semata-mata dijuluki sebagai wajah kaum sarungan atau gambaran komunitas tradisional yang hanya mengenal dan ”terkerangkeng” dalam dunia terbatasnya di pesantren atau padepokan. NU sudah masuk dalam lingkaran kehidupan yang lebih luas. Benarkah di NU sedang terjadi pelapisan yang cenderung sebagai bentuk lain dari disparitas sosial? Atau benarkah kader-kader NU telah menapak demikian jauh, sehingga melupakan dari mana mereka berasal?

Kaum NU yang disebut jumlahnya berpuluh-puluh juta telah menapak demikian jauh dalam langkah atau pola kehidupan yang berelasi dengan berbagai macam orang dan aspek strategis di tengah masyarakat. Mereka tidak sebatas mengenal dunia pesantren atau lingkungan keagamaan yang menjadi tempat pengabdiannya, tetapi juga sudah memasuki wilayah kehidupan sosial yang heterogen.

Salah satu elemen NU yang sudah banyak memasuki kehidupan makro social adalah golongan elite NU. Elemen ini sudah menjalin relasi dengan elite kekuatan lokal, nasional hingga global. Mereka telah menjadi semacam sosok pelaku yang hadir dengan warna tersendiri, yang sesuai dengan tuntutan dan magnet kepentingan di tengah pergulatan masyarakat.

Gus Dur dan Hasyim Muzadi merupakan contoh dua kader NU yang telah menjadi milik atau ”presiden” masyarakat lokal hingga global, yang sepak terjang hingga pemikiran-pemikirannya telah memberikan warna tersendiri, baik di bidang pendidikan, keagamaan, kebudayaan, maupun masalah pluralitas sosial.

Golongan elite NU yang sudah malang melintang di berbagai jagad dan mampu menjalin relasi itu sering pula disebut ”NU Berdasi”. Stigma ini menjadi mentereng sesuai dengan kondisi realitas yang semakin lama menempatkannya sebagai elemen strategis yang diperhitungkan atau memperhtiungkan kondisi masyarakat. Masyarakat pun sudah bisa membaca dengan cerdas tentang peta kekuatan dan kepentingan yang bergulat di lingkaran ”NU berdasi”.

Stigma itu pun merepresentasi kondisi riil sebagian warga NU yang sebenarnya sekarang sudah unjuk perbedaan baik dibandingkan dengan kondisi internal warga NU sebelumnya ataupun kondisi masyarakat luar NU yang belum berani lebih terbuka dalam melakukan perubahan. Keran demokratisasi telah demikian berpengaruh besar terhadap percepatan pembaharuan di lingkaran NU,

Suatu kekeliruan kalau di era sekarang ini, masih ada organisasi sosial, agama, dan politik tertentu yang menyebut atau menempatkan NU sebagai kekuatan yang jauh dari modernitas atau masih berwatak konvensional, baik dalam bersikap secara kultural, sosial, maupun politik.

NU sekarang telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya kader-kader potensial, yang barangkali di organisasi kemasyarakatan lainnya belum ada. Mereka ibarat menemukan zaman baru yang telah menantangnya untuk membuktikan diri sebagai manusia pilihan, atau kumpulan pelaku sejarah yang bisa berbuat banyak untuk bangsanya.

Mereka telah menjadi ”kekuatan berdasi”, simbol dari kekuatan kaum modern, berpendidikan, terlibat dalam percaturan riil kemasyarakatan dan kebangsaan, atau terpilih lewat seleksi alam sebagai kader yang tidak dibonsai oleh kekuatan politik, tetapi sukses membesarkan dirinya lewat penggalian minat dan bakatnya. Berkat kemampuan keilmuan dan kecerdasannya dalam membangun suatu organisasi dan komunitasnya, kader-kader NU ini tampil menjadi incaran kekuatan lain untuk dijadikan sebagai pemimpin,

Kalau semula komunitas NU, khususnya di rezim Orde Baru, tidak menampakkan diri sebagai kekuatan modern, itu bukan karena komunitas ini tidak punya kapabilitas untuk menjawab dan membaca perkembangan zaman. Tetapi, saat itu kekuatan-kekuatan politik belum memberikan angin kebebasan atau kemerdekaan yang membuatnya bisa berkreasi dan berekspresi.

Memang masih ada komunitas NU di pedesaan yang belum mencapai perkembangan yang cepat dan adaptatif terhadap tuntutan zaman, namun hal ini hanya persoalan belum sampainya informasi atau sosialisasi yang sampai kepadanya. Lambat laun mereka pun akan mampu mengadaptasikan diri seiring dengan perkembangan informasi yang ”mendiktenya”.

Mereka itu belum menunjukkan perubahan besar bukan karena tidak mau menerima tawaran-tawaran pembaharuan, tetapi lebih disebabkan kondisi sosiogeografis yang membuatnya kesulitan mengakses informasi yang menguntungkannya. Sebut dalam soal kebijakan perbukuan elektronik (digitial), mereka masih jauh dari paham, apalagi sampai pada tahap mengaksesnya.

Kekuatan Kultural
Kekuatan NU yang tinggal di pedesaan itu memang tidak perlu dipaksakan, apalagi dibonsai menjadi kumpulan ”manusia berdasi”, mengingat NU juga memerlukan kekuatan kultural yang diharapkan bisa menjadi penyeimbang antara komunitas NU yang sudah berjalan cepat di ranah modernisasi dengan kekuatan NU yang tetap melestarikan nilai-nilai kultural.

Dua kekuatan itu tidak dimaksudkan sebagai bentuk pelapisan, apalagi dianggap sisi lain dari disparitas, tetapi sebagai dua kekuatan yang bisa saling mengisi dan mewarnai supaya perjalanan NU di masa-masa mendatang tetap menarik dan demokratis dalam opsinya masing-masing.

Seperti kata Farid Hadi (2007), kekuatan kultural merupakan kekuatan tidak bisa dianggap remeh oleh mereka yang sudah berada dan mengendalikan gerbong modernitas. Gerbong modernitas ini bisa saja meluncur deras menuju ketersesatan dan bahkan kehancuran, manakala tidak diimbangi oleh kekuatan sosial-keagamaan yang selalu menawarkan dan menyegarkan nilai-nilai kultural.

Kalau NU masih tetap merawat dan membela kekuatan kulturalnya, berarti tidak salah. NU menjaga keseimbangan dalam merajut perbedaan generasi dan pola pikir bukan untuk diperbedakan, tetapi dijadikannya sebagai kekuatan terintegrasi atau terkonvergensi, sehingga ketika arus deras kekuatan global atau politik permisif mencoba menyerang dan ”menjajah” kehidupan masyarakat-bangsa ini, NU tetap berada dalam identitas yang benar.

Identitas yang benar merupakan barang langka di negeri ini. Beda dengan ”kebenaran identitas”. Kartu NU (Kartanu) bukan ditemukan pada diri seseorang sebagai kebenaran identitas saat kader NU diverifikasi menjadi salah satu calon kepala sekolah, kandidat penjabat strategis di Ormas maupun di level publik, pemimpin perguruan tinggi hingga ke rahan politik strategis, tetapi sudahkah kebenaran identitas itu menjadi identitasnya yang benar?
ISLAM DAN PAHAM PLURALISME AGAMA

Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya.Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannyatimbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap
realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralism agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda.
Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara.
Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi,teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dÊnukum wa liya dÊn). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik
dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama
sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions).
Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order, oleh Ronald Robertson dan WR. Garet.
Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah.
Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004). Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen. Sudah tentu disitu framework Barat sangat dominan.Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu.
Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua
memakai pendekatan religious filosofis.Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi,aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lainlain.
Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern.
Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu.Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralism agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology. Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Probblems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh,Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama.Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupunpost-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun historie dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan
mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama.Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Íikmah al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all paths lead to
the same summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah René Guénon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965),Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed
Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein,Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F.
Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain.
Karena keterbatasan ruang ISLAMIA edisi ketiga ini baru dapat menghadirkan kajian kritis terhadap aliran kedua yaitu paham yang mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Untuk lebih mengenal asal usul dan konsep dasar paham ini kami hadirkan kajian Adnin Armas terhadap doktrin transendentalis dari penggagas awalnya yaitu Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon (baca: Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik- Temu Agama-Agama). Disitu ia mengangkat topik tentang metafisika, epistemoligi, pendekatan esoterik dan eksoterik.
Schuon yang dikabarkan masuk Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim asal Iran yaitu Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang menterjemahkan istilah philosophia perrenis itu menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Sebenarnya ide-ide Guenon, Schuon dan Nasr adalah parallel, ketiganya mendukung paham kesatuan transenden agama-agama.Pemikiran pluralis S.H.Nasr ini dikaji secara kritis oleh Dr. Anis Malik Toha (baca: Seyyed Hossein Nasr: Mengusung“Tradisionalisme” Membangun Pluralisme Agama).
Selain itu aspek penting paham ini adalah pendekatannya yang diambil dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Untuk menguji klaim mereka bahwa para sufi itu pluralis Sani Badron mengupas pandangan tokoh Sufi terkenal yang sering mereka kutip, yaitu Ibn ‘Arabi. Kajian langsung terhadap karya-karya utamanya ini mengungkapkan pandangan Ibn ‘Arabi terhadap agama-agama selain Islam. (baca: Ibn ‘Arabi tentang Pluralisme Agama).
Meskipun kajian-kajian diatas telah merespon paham pluralisme agama dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Untuk itu kami hadirkan pandangan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep-konsep asas Islam seperti tentang wahyu, tentang Tuhan, tentang konsep tauhid dan lain-lain. Dengan eksposisi konsep-konsep itu al-Attas menyimpulkan bahwa paham pluralisme agama tidak sesuai dengan Islam. Tulisan ini kami cuplik dan terjemahkan dari karya beliau Prolegomena To the Metaphysic of Islam.
(baca: Respon Islam terhadap Konsep Kesatuan Agama-agama). Untuk menjelaskan pemikiran al-Attas secara lebih dalam dan luas tentang makna Islam sebagai dÊn kami hadirkan tulisan Dr. Fatimah Abdullah yang berjudul Konsep Islam sebagai DÊn, Kajian terhadap Pemikiran Prof.Dr.SMN. al-Attas. Sedangkan untuk penjelasan lebih lanjut tentang respon Islam terhadap paham kesatuan transenden agama-agama, kami hadirkan kritik dan analisa Wan Azhar terhadap doktrin Transcendent Unity of Religion (baca: Kesatuan Transenden Agama-agama, Sebuah Respon Awal). Disitu argumentasi Prof. Al-Attas dielaborasi sehingga menjadi lebih jelas.
Dari beberapa kajian diatas barangkali muncul suatu kesan bahwa kritik terhadap paham pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan justru nampak lebih cenderung merupakan sikap mental yang ter-Barat kan dari pada obyektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran globalisasi Barat modern dan post-modern ternyata juga menuai kritik dari paham pluralisme agama yang dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di Timur.Dalam kondisi pemikiran yang problematik ini
sangatlah bijaksana jika kita tidak ke Barat dan tidak ke Timur, tapi kembali kepada Islam.

MASYARAKAT MADANI (CIVIL SOCIETY) DAN PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA
Terlahirnya istilah masyarakat madani di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa “ istilah masyarakat madani” sebagai terjemahan “ civil society”, dalam ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995. Istilah masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran Prof. Naquib al-Attas seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia dalam studinya baru-baru ini. Kemudian mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia termasuk seorang Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat madani dalam sejarah islam pada artikelnya “Menuju Masyarakat Madani”.
Dewasa ini, istilah masyarakat madani semakin banyak disebut, mula-mula terbatas di kalangan intelektual, misalnya Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan Amien Rais. Tetapi perkembangannya menunjukkan istilah masyarakat madani juga disebut-sebut oleh tokoh-tokoh pemerintahan dan politik, misalnya mantan Presiden B.J. habibie, Wiranto, Soesilo bambang Yudoyono dan masih banyak lagi.
Masyarakat madani atau yang disebut orang barat Civil society mempunyai prinsip pokok pluralis, toleransi dan human right termasuk didalamnya adalah demokrasi. Sehingga masyarakat madani dalam artian negara menjadi suatu cita-cita bagi negara Indonesia ini, meskipun sebenarnya pada wilayah-wilayah tertentu, pada tingkat masyarakat kecil, kehidupan yang menyangkut prinsip pokok dari masyarakat madani sudah ada. Sebagai bangsa yang pluralis dan majemuk, model masyarakat madani merupakan tipe ideal suatu mayarakat Indonesia demi terciptanya integritas sosial bahkan integritas nasional.
Memencari padan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “masyarakat madaniyah” dalam tradisi kehidupan social dan politik bangsa kita. Namun banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul.
Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, sehingga masyarakat madani bias berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota,yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi.
Penggunaan istilah masyarakat madani dan civil society di Indonesia sering disamakan atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.
Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah Civil Society dari sudut konsep sosiologis. Yaitu, dalam tingkatan kelembagaan dan organisasi sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Untuk yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan. Dalam pengertian civil society dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, yang menurut Seligman dikembangkan oleh T.H. Marshall. Atau dengan kata lain bicara civil society sama dengan bicara demokrasi. Dan civil society ini merupakan obyek kajian dalam dunia politik (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts) . Sedangkan yang kedua, civil society menjadi wilayah kajian filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan. Yang kedua ini menurut Seligman, kajian civil society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep durkheim tentang moral individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas bentuk modern organisasi sosial, atau sintesa Talcott Person tentang karisma Weber dan individualism Durkheim.
Pemetaan tentang civil society pernah dilakukan oleh Michael W. Foley dan Bob Edwards yang menghasilkan Civil Sosiety I dan Civil Society II. Namun dalam perkembangannya , terdapat analisis yang mencakup dari kedua aspek (civil Society I dan II), hingga menghasilkan kombinasi atau tipe Civil society III.
Dalam wacana civil society I di Indonesia lebih menekankan aspek horizontal dan biasanya dekat dengan aspek budaya. Civil society di sini erat dengan “civility” atau keberadaban dan “fraternity”. Aspek ini dibahas pemikir masyarakat madani atau madaniah yang mencoba melihat relevansi konsep tersebut (semacam “indigenisasi”) dan menekankan toleransi antar agama. Analis utama dalam kelompok ini adalah Nurcholish Madjid yang mencoba melihat civil society berkaitan dengan masyarakat kota madinah pada jaman Rosulullah.Menurut Madjid, piagam madinah merupakan dokumen politik pertama dalam sejarah umat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi, sementara toleransi di Eropa (Inggris ) baru dimulai dengan The Toleration Act of 1689.Penggunaan konsep madani ini mendapat kritik dari kelompok yang menggunakan “civil society’ dengan Muhammad Hikam sebagai pemikir utamanya. Perdebatan utamanya terletak pada bentuk masyarakat ideal dalam civil society tersebut. Walaupun kedua kelompok tersebut erat dengan “Islam cultural” namun contoh masyarakat Madinah kurang mencerminkan relevansi dengan Indonesia.
Selain civil society dan masyarakat madani, konsep masyarakat warga atau kewargaan digunakan pula oleh Ryaas Rasyid dan Daniel Dhakidae. Wacana dalam civil Society II memfokuskan pada aspek “vertical” dengan mengutamakan otonomi masyarakat terhadap negara dan erat dengan aspek politik. Dalam civil society II, istilah “civil” dekat dengan “citizen’ dan “liberty”. Terjemahan yang diIndonesiakan adalah Masyarakat warga atau masyarakat kewargaan dan digunakan oleh ilmuwan politik . Pemahaman civil society II intinya menekankan asosiasi diantara individu (keluarga) dengan negara yang relatif otonom dan mandiri. Namun, terdapat perdebatan apakah partai politik atau konglomerat termasuk disini atau apakah semua organisasi yang non-negara merupakan civil society. Jadi civil society II dapat bermakna beragam dan ada pula yang mndefinisikan “civil society’ sebagai “the third sector” yang berbeda dari pemerintah dan pengusaha.
Pembahasan civil society III merupakan upaya untuk mempertemukan civil sosiey I dan civil society II. Kombinasi antara Civil society I dan II yang menjadi civil society III telah dibahas oleh Afan Gaffar di bukunya Politik Indonesia; Transisi Menuju demokrasi (1999). Dibahas pula oleh Paulus Wirutomo dalam pidato pengukuhan Guru Besar yang berjudul Membangun Masyarakat Adab: Suatu Sumbangan Sosiologi. Konsep civil society III ini yang dirasa relevan dengan masyarakat Indonesia dimana keadaan vertical (antar lapisan dan kelas), seperti demokratisasi dan partisipasi erat kaitannya dengan situasi horizontal atau SARA. Kedua aspek tersebut mengalami represi dan sejak reformasi 1998 muncu ke permukaan dan membutuhkan perhatian dalam proses re-integrasi.
Maka dari itu, perspektif masyarakat madani di Indonesia dapat dirumuskan secara sederhana, yaitu membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratif, dengan landasan taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa. Ditambah legalnya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan juga pluralisme, adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban (tamaddun). Sebab toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of civility).
Di sini pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negative”, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus difahami sebagai ‘pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan.
Di Indonesia, pluralisme dalam keberagamaan dapat dibagi menjadi 3 jaman perkembangannya, yaitu:
1. Pluralisme cikal-bakal. Yang di maksud istilah ini adalah pluralisme yang relative stabil, karena kemajemukan suku dan masyarakat pada umumnya masih berada dalam taraf statis. Mereka hidup dalam lingkungan yang relative terisolasi dalam batas-batas wilayah yang tetap, dan belum memiliki mobilitas yang tinggi karena teknologi komunikasi dan transportasi yang mereka miliki belum memadai. Agama-agama suku hidup dalam claim dan domain yang terbatas, tidak berhubungan satu dengan lainnya. Keadaan seperti ini tidak banyak berubah sampai datang pengaruh agama yaitu agama Hindu dan Budha dengan tingkat peradabannya masing-masing.
2. Pluralisme kompetitif. Pluralisme jenis kedua ini kira-kira mulai abad 13 ketika agama islam mulai berkembang di Indonesia, dan kemudian disusul dengan kedatangan agama Barat atau agama Kristen (baik katolik maupun Protestan) pada kira-kira abad 15. konflik dan peperangan mulai terjadi diantara kerajaan islam di pesisir dengan sisa-sisa kekuatan Majapahit di pedalaman Jawa. Ketika penjajah dating dengan konsep “God, Gold, and Glory”, persaingan antara Islam dan Kristen terus berlangsung hingga akhir abad 19.
3. Pluralisme Modern atau pluralisme organik. Di awal abad ke 20, puncak dominasi Belanda atas wilayah nusantara tercapai dengan didirikannya “negara” Nederland Indie. Kenyataan negara ini menjadi sebuah kesatuan organic yang memiliki satu pusat pemerintah yang mengatur kehidupan berdasarkan hukum dan pusat kekuasaan yang riil. Pluralisme SARA memang diperlemah, disegregasikan, , dan dibuat terfragmentasikan demi kepentingan Belanda. Kemudian upaya-upaya mansipasi SARA pun terjadi dalam peristiwa Sumpah pemuda 1928 dan proklamasi kemerdekaan 1945.

MENJALIN PERSATUAN di TENGAH PLURALISME AGAMA
Telah dimaklumi bersama bahwa kemajemukan merupakan salah satu ciri yang melekat dan tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu bentuknya adalah kemajemukan (pluralitas) agama.
Sebagaimana dalam bidang lainnya, pluralitas agama bisa menjadi modal pembangunan bangsa jika dikelola secara arif dan bijaksana. Akan tetapi jika terjadi kesalahan manajerial justru akan memicu konflik horizontal antar sesama umat beragama yang mengakibatkan perpecahan (disintegrasi) dan menjadi kendala besar dalam proses pembangunan bangsa dan negara.
Tragedi Aceh, Ambon, Poso, Sampit dan lainnya sudah cukup memberi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, menjalin dan membina hubungan kerja sama dan persatuan antar pemeluk agama yang berbeda-beda sangat urgent, bahkan satu keniscayaan dalam rangka mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera, damai dan adil.
Hal ini harus disadari oleh segenap umat beragama sehingga upaya mewujudukan cita-cita bersama itu akan terasa mudah dan sukses karena muncul dari kerasadaran masyarakat sendiri.
Dan, pemerintah juga diharapkan lebih proaktif dalam menyikapi setiap kemungkinan pihak-pihak tertentu “memanfaatkan” sintemen agama untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ketidakharmonisan hubungan atau “perang dingin” antar pemeluk agama yang beranekaragam bila dicermati secara teliti terutama muncul dari sistem intern (komunitas) agama itu sendiri. Ada dua hal yang menyangkut watak alami keagamaan yang menjadi indikator asumsi ini.
Pertama, sifat “inklusiv” keimanan. Setiap pemeluk agama menyakini bahwa agamanya merupakan jalan kebenaran dan pada waktu itu yang sama menolak kebenaran agama lain. Jika ia menyakini kebenaran agamanya sekaligus kebenaran agama lainnya, berarti keimanannya tidak sempurna. Begitu juga sebaliknya, pemeluk agama lain menyakini agamanya sendiri sebagai jalan kebenaran dan menolak keberaran agama lainnya.Agama menjadi benar dimata penganutnya, dan menjadi salah menurut agama lainnya (other religions). Dalam konteks ini, dapat dikatakan –memimjan istilah Sayyed Hossein Nasr—agama relatively absolut atau sebaliknya, absolutly relative. Ini adalah watak alami yang ada pada setiap agama dan tidak bisa diubah.
Kedua, sifat misioner agama. Agama sebagai “kabar gembira” selalu menuntut perluasan dan penyebaran kepada sebanyak mungkin orang, yaitu kepada mereka yang belum mengetahuinya tetapi bersedia menerimanya.Setiap pemeluk agama jelas menghendaki apa yang diyakininya sebagai keselamatan dan kebenaran dapat dan dinikmati oleh orang lain, bahkan ini menjadi tuntutan agama itu sendiri.
Dengan demikian, agama-agama tidak pernah menjadi eksklusif dalam arti berusaha membatasi jumlah penganutnya, melainkan cenderung menjadi inklusif, yaitu membawa sebanyak mungkin orang kedalam lingkupnya untuk menikmati keselamatan yang dijanjikan agamanya.
Jika demikian, apakah perpecahan dan pertikaian antar umat beragama menjadi keniscayaan ?. Masihkah ada jalan dan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama dan persatuan antar umat beragama?
Titik Temu agama-agama
Perbedaan antar agama yang beranekaragam itu bukan dalam arti sepenuhnya (totally). Secara gamlang, kita bisa melihat adanya ide dan gagasan yang sama. Gagasan-gagasan yang sama merupakan titik konvergensi antara agama-agama. Bila kita mengikuti klasifikasi agama berdasarkan sumbernya dalam wacana teologi, agama terbagi menjadi agama semit (wahyu) dan agama non-semit.
Antara agama-agama semit tentu saja terdapat persamaan-persamaan karena sama-sama bersumber pada wahyu (Tuhan). Begitu pula antara agama semit dan non-semit akan dijumpai persamaan-persamaan khususnya yang menyangkut aspek moral dan akhlak sosial. Sebab ide, gagasan dan pikiran sebagai produk akal budi manusia yang luhur senantiasa sesuai dengan wahyu Tuhan. Dengan kata lain, ide, gagasan dan pemikiran manusia adalah sebagai backing dari wahyu, kalau tidak sebagai bagian dari agama itu sendiri.
Persamaan antara agama-agama itu bahkan menyentuh ide atau gagasan yang prinsipil. Semua agama membawa pesan dasar yang sama, sikap pasrah, tunduk dan patuh kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kepatuhan ini menjadi karakteristik pokok setiap agama. Agama mengajarkan para pemeluknya untuk menyerahkan jiwa, raga dan entitas hidup mereka untuk Tuhan semata. Tak bisa dipungkiri pula bahwa semua agama memiliki paradigma sosial yang berwujut keadilan sosial dan kesejahteraan manusia secara universal.
Semangat emansipatoris dan transformatif menjadi corak dan karakternya. Dinamika pembebasan didalamnya tampak jelas sebagai jiwa dan kekuatannya. Para penganut agama meyakini dan sepakat bahwa agamanya membawa misi kesejahteraan (kemaslahatan) dan keselamatan (salvation) bagi umat manusia dan alam semesta.
Agama juga menjadi komando perlawanan terhadap bentuk thagut (tirani), penindasan, diskriminasi dan kekerasan serta kesewenangan-wenangan atas nama apapun.
Dalam wacana teologi inklusif, titik temu antar agama yang berbeda-beda ini kerapkali dijadikan kerangka acuan pemikiran untuk menjalin kerja sama dan persatuan umat beragama dalam mewujudkan cita-cita bersama dalam ikatan nation state, bahkan dunia secara global.
Namun bagaimanapun, kerangka acuan pemikiran ini belum kokoh, karena argumentasi-argumentasi belum menyentuh hakikat diri manusia (kemanusiaan) sebagai mahlik (ciptaan) Tuhan. Sejumlah pertanyaan bernada kritis dan menggelitik sewajarnya akan muncul. Jika semua agama pada dasarnya sama, maka apa arti perbedaan-perbedaan yang tampak jelas itu ?. Jika semua agama pada hakikatnya benar, apa pula nilai ekspansi (dakwah, kristenisasi, dsb) agama itu ?
Selama ini perbedaan agama telah minimbulkan permusuhan diantara para pemeluknya. Tidakkah kita bisa meninggalkan semua formalitas agama yang ada, untuk kemudian merumuskan satu pegangan bagai umat beragama demi tercapainya perdamaian umat manusia ? Kalaupun disatukan toh tidak akan mengubah atau merusak esensi agama
Dasar-Dasar Inklusifisme Agama
Bangunan persatuan umat beraga harus dilandaskan pada ekspresi hakikat diri manusia yang meliputi harga diri manusia (kemanusiaan) dan kebebasan manusia itu sendiri. Manusia adalah mahluk yang dimuliakan oleh Tuhan Sang Pencit Alam Semesta tanpa melihat perbedaan agama, etnis, suku, eras, warna kulit dan golongan tau apapun bentuk perbedaan lainnya.
Kemuliaan ini merupakan jaminan bagi setiap individu dan komonitas agama (relegion Commonity) untuk mendapatkan kehormatan, perlindungan, perlakuan baik dan adil serta hak-hak asasi yang sama.
Ini juga berarti manusia adalah setara (equal) dihadapan Tuhan sebagai hamba-hamba-Nya yang telah dimuliakan atas mahluk lain di alam semestas ini.
Sebagai konsekuensi logisnya, antar sesama komonitas agama yang berbeda-beda harus saling mengakui dan memahami eksistensi komonitas agama lain secara baik dan adil.
Disisi lain manusia adalah mahluk yang dianugerahi kebebasan. Kebebasan berfikir, berbuat, berperilaku dan menentukan pilihan apapun untuk dirinya. Kebebasan ini berdasarkan kemampuan yang Tuhan secara kodrat (fitrah) kepada manusia berupa sesuatu dari ruhnya (Dr. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban 1992 : 430-431).
Dengan potensi ini, maka manusia memiliki kesadaran penuh dan kemampuan untuk memilih dan memutuskan jalan yang lurus dan benar sesuai tuntutan dan petunjuk Tuhan. Dengan kata lain, manusia secara kodrati (fitrah) memiliki kemampuan memilih agama yang benar dan lurus.
Kebebasan manusia harus diiringi dengan rasa tanggung jawab (responsibility). Setiap pilihan dan gerak-gerik manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan di kehidupan setelah mati nanti. Setiap individu akan diberi ganjaran baik atau buruk sesuai kadar ketaqwaannya.
Disini perlu digarisbawahi bahwa pelaksanaan pertanggung jawaban itu bukan didunia, bukan pula menjadi tugas komonitas agama tertentu. Pertanggungjawaban itu diserahkan kepada Tuhan semata yang telah memberikan kebebasan itu. Tuhan yang akan menyelesaikan persoalan dan perselisihgan diantara umst beragama (manusia).
Dan demikian, pemeluk agama manapun tidak perlu resah atau gusar karena penyimpangan (dalam pandangan mereka) yang dilakukan pemeluk agama lain.
Semua itu hendaknya dikembalikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Bijaksana. Sebagai watak keagamaan dan tuntutan agama itu sendiri, tiap pemeluk agama tidaklah menjadi masalah mengajak komonitas agama lain dengan catatan selama tidak melnggar nilai-nilai kemanusiaan dan makna kebebasan manusia.
Disinilah sifat misionir keagamaan tidak akan mengakibatkan perselisihan, perpecahan umat beragama dan pertumpahan darah. Selanjutnya, kesadaran dan pemahaman terhadap hakikat diri manusia kan menumbuhkan sikap optimis-positif umat beragama untuk menjalin persatuan dan hubungan kerjasama dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama dalam kehidupan bernegara maupun dunia secara global.

PLURALITAS BUDAYA
Pluralitas merupakan ciri dari semua kelompok dengan tingkat kompleksitas dan problem yang berbeda-beda. Perbedaan yang terlalu tajam bisa melahirkan sikap arogan dan etnosentrisme yang berpotensi untuk memicu timbulnya konflik antar kelompok.
Jika kita perhatikan penduduk asli yang menempati pulau-pulau di Nusantara ini seperti orang Ambon, orang Dayak, dan lain-lain, masing-masing memperlihatkan sifat-sifat fisik dan ragam budaya yang spesifik, sehingga nama orang berasal. Apalagi jika kita mendengarkan mereka berbicara dengan teman seasal, kita dapat menetapkan dengan lebih pasti lagi mengenai tempat asal dan etnisitas seseorang. Dengan mengetahui dari mana seorang individu atau kelompok berasal kita dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dan harmonis.
Keanekaragaman budaya yang masing-masing duduk sama rendah berdiri sama tinggi ini merupakan konsientisasi berikut yang disodorkan oleh multikulturalisme. Pada tingkat praktis, multikulturalisme juga menunjuk kemungkinan “penyesuaian budaya” atau “dialog budaya” dalam pengalaman individual maupun kelompok.
Multukulturalisme dapat didefinisikan sebagai pengakuan terhadap adanya pluralitas budaya yang menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar kelompok-kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat dan kelompok mayoritas mau mengakomodasi perbedaan kelompok-kelompok minoritas agar kekhasan identitas mereka tetap diakui
Dengan pengertian tersebut, berarti multikulturalisme terumuskan dalam bentuk sejumlah prinsip, dan kebijakan, untuk mengakomodasi keberagaman sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari suatu masyarakat. Jadi, arah multikulturalisme adalah untuk menciptakan, menjamin, dan mendorong pembentukan ruang publik (public sphere) yang memungkinkan beragam komunitas dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kekhasan masing-masing.
Pluralitas yang kita saksikan pada setiap bangsa yang besar muncul karena sejumlah faktor. Pluralitas budaya dan masyarakat Jepang bertalian erat dengan berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya perkembangannya seperti bentuk geografis, keadaan etnis, kelas sosial, tradisi, ras dan kebangsaan. Keadaan itu, untuk sebagian, berlaku juga bagi masyarakat Indoenesia sekaraang ini. Dari aspek geografis Indonesia jauh lebih plural dan kompleks dibandingkan Jepang. Bayangkan saja, Jepang hanya mempunyai beberapa buah pulau berukuran sedang, sedangkan Indonesia memiliki 5 pulau besar dan 16 ribu pulau termasuk pulau-pulau kecil. Suatu penelitian yang digagas oleh LP3ES mencatat tidak kurang dari 666 suku menurut urutan abjad ternyata memenuhi hampir semua huruf kecuali huruf Q, V, X dan Z. Saya yakin masih banyak kelompok etnis yang tersebar di seluruh penjuru tanah air yang masih belum terekam oleh kajian tersebut, meskipun demikian kajian ini menggugah kesadaraana kita bahwa kita berhadapan dengan suatu realita yang perlu kita pelajari dengan sikap terbuka dan serius.
Multikulturalisme menganggap bahwa etnosentrisme bukan tutur kata dan sikap yang relevan. Yang relevan ialah kewajiban untuk menghormati hak-hak atas keanekaan budaya atau hak-hak untuk berbeda secara budaya. Multikulturalisme dengan demikian memproklamasikan emansipasi budaya-budaya kecil yang masing-masing juga memiliki “hak hidup” yang wajib dihormati. Adanya kesadaran terhadap multikulturalisme dapat menyebabkan setiap orang saling memahami kekhasan yang dimiliki dan meneguhkan identitasnya
Dalam ideologi ini, kelompok-kelompok budaya tersebut berada dalam kesetaraan derajat, demokratis dan toleransi sejati. Kita harus bersedia menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan sukubangsa, agama, budaya, jender, bahasa, kebiasaan, ataupun kedaerahan.
Multikulturalisme patutnya dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflikstual. Karena itu, publikasi, film, televisi, dan berbagai media komunikasi lainnya sepatutnya tidak mengekspos hal-hal yang bersifat anti, menghina atau melecehkan budaya lain atau ajaran suatu agama. Sikap respek terhadap budaya dan agama-agama harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta.
Saat ini konsep multikulturalisme perlu dikembangkan, seperti memberikan pemahaman sejak dini kepada anak tentang tidak adanya perbedaan antara orang yang memiliki rambut keriting, kulit putih, dan mata sipit, agar mereka dapat menerima keberagaman suku bangsa sebagai satu kesatuan nilai-nilai nasional kebangsaan.
Sebab bagaimana pun juga, pendidikan multikultural dapat memberikan solusi bagi sejumlah permasalahan yang dihadapi Indonesia. Pertama, sebagai sarana alternatif pemecahan konflik. Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di Indonesia yang secara realitas plural. Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Kedua, pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina peserta didik supaya tidak tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, ketika berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi. Sebab disadari maupun tidak, dalam era globalisasi saat ini, pertemuan antarbudaya menjadi “ancaman” serius bagi peserta didik. Untuk menyikapi realitas global tersebut, peserta didik hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan. Ketiga, sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional. Pengembangan kurikulum masa depan yang berdasarkan pendekatan multikulturalisme menjadi sangat penting. Langkah demikian dapat dilakukan setidaknya dengan mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini menjadi filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan berbasis multikulturalisme pada akhirnya akan memberikan sebuah pencerahan: yakni kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Kearifan itu muncul seiring dengan adanya keterbukaan untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati. Keanekaragaman dalam realitas kehidupan manusia adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri.
Islam Menghargai Pluralitas Budaya
Pemikir Islam kontemporer asal Lebanon Dr Mahmoud Ayub menyatakan, Islam sangat menghargai pluralitas agama maupun pluralitas budaya. Hal tersebut dikatakan Mahmoud Ayub dalam diskusi tentang identitas dan pluralisme agama yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah, di Yogyakarta, Kamis (10/9).
Dalam diskusi yang dipandu Rahmawati Hussein ini, Mahmoud menyatakan, penghargaan Islam atas pluralitas agama dan budaya terpancar dari Al Quran, Surat Al-Hujurat ayat 13 yang di dalamnya terdapat kaidah penciptaan manusia yang bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. "Jika ajaran tersebut ditransformasikan dalam konteks kehidupan modern, maka setiap keyakinan yang dimiliki manusia dalam komunitas bangsa apa pun, harus dihormati dan dihargai."
Doktor lulusan Universitas Harvard ini juga mengatakan, penghargaan Islam atas pluralitas agama dan budaya yang dimiliki manusia sebenarnya mencerminkan adanya frame yang sangat humanistik dalam Islam. Kerangka pikir semacam ini, demikian Mahmoud, perlu disosialisasikan jika kita benar-benar ingin mewujudkan masyarakat yang beradab (civilized society).
Mahmoud menyatakan, pada dasarnya hubungan antara agama dan peradaban masyarakat sangat erat. Islam juga lebih dari sekadar sebuah ideologi. Islam adalah perpaduan antara keyakinan, ideologi, dan-yang lebih penting lagi-Islam sangat berkaitan dengan persoalan praktis kehidupan manusia di mana Islam harus berhadapan dengan banyak persoalan.
"Oleh karena itu, prinisp amar makruf yang sangat populer dalam Islam juga harus bisa dielaborasikan dalam konteks modernitas," tegas Mahmoud yang menjadi scholar muslim pertama yang mengajar di Vatikan.
Menjawab pertanyaan peserta diskusi tentang keberadaan perempuan, pengajar Comparative Religion di Philadelpia Univer-sity ini menyatakan, hubungan antara laki-laki dan perempuan bukanlah hubungan yang bersifat menindas satu sama lain. Pe-rempuan yang dikatakan dalam Al Quran sebagai pakaian dan perhiasan bagi laki-laki, harus jangan dimaknai bahwa laki-laki mempunyai hak untuk mensubordinat dan melakukan penindasan terhadap perempuan, tetapi harus dimaknai bahwa laki-laki dan perempuan saling menghargai secara timbal balik.
"Jika perempuan menjadi pakaian dan perhiasan bagi laki-laki, maka laki-laki pun harus bisa menjadi perhiasan dan pakaian bagi perempuan. Keduanya mempunyai hak satu sama lain dan mempunyai kedudukan yang setara, baik di hadapan BUDAYA
HAM dan Pluralitas Budaya dalam Pandangan GNB
Pada tanggal tiga dan empat September lalu, negara-negara anggota Gerakan Non Blok menggelar sebuah konferensi di Tehran mengenai salah satu isu yang begitu sensitif dan kontroversial dalam wacana global. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi GNB ke-14 di Kuba, Seetember tahun lalu, Republik Islam Iran mengusulkan diselenggarakannya sebuah konferensi yang membicarakan isu HAM dan kaitannya dengan keragaman budaya secara khusus. Usulan ini disambut positif oleh negara-negara GNB. Pasalnya, selama ini persoalan HAM dan penafsiran atas konsep ini senantiasa dimanfaatkan oleh Barat secara sepihak. Karena itu, lebih dari seratus delegasi negara-negara anggota GNB, yang mana 56 di antaranya adalah delegasi tingkat menteri, bertandang ke Tehran guna membahas permasalahan HAM dalam perspektif negara-negara berkembang.
Isu HAM dan keragaman budaya yang diangkat dalam konferensi Tehran menandakan adanya perbedaan pandangan antara negara-negara dunia ketiga dengan negara-negara Barat terhadap isu tersebut, khususnya mengenai piagam HAM versi Barat yang disahkan pada tahun 1945. Pasca meletusnya Perang Dunia II dan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB, AS dan sejumlah negara-negara Eropa merancang piagam deklarasi HAM internasional yang dibuat bersandarkan pada kultur dan nilai-nilai Barat.
Piagam ini, akhirnya disahkan secara resmi oleh PBB. Pada masa itu, sebagian besar negara-negara dunia ketiga masih berada di bawah kekuasaan kolonialisme. Sedang lainnya, entah belum bergabung dengan PBB atau mungkin juga tidak memberikan perlawanan yang efektif terhadap piagam tersebut. Namun, semenjak isu HAM senantiasa dimanfaatkan Barat sebagai perangkat tekanan terhadap negara-negara lainnya, negara-negara dunia ketiga pun kian sadar, bahwa mereka mesti mengajukan pula pandangannya mengenai persoalan HAM di tingkat global. Upaya ini urgen dilakukan, agar Barat tak lagi sewenang-wenang menuduh pihak lain melanggar HAM tanpa alasan jelas.
Salah satu kritik utama yang diarahkan oleh negara-negara berkembang terhadap deklarasi HAM PBB, adalah diabaikanya persoalan keragaman budaya dan keyakinan negara-negara dunia ketiga. Mereka percaya bahwa esensi HAM yang dipromosikan oleh Barat selama ini, sejatinya berakar pada ideologi liberalisme Barat. Sementara, prinsip dan nilai-nilai negara-negara lain, seakan dipandang sebelah mata dalam Piagam tersebut. Kendati, prinsip-prinsip utama HAM, semacam hak hidup, kebebasan berpendapat, pemilihan kerja, dsb merupakan ihwa yang disepakati oleh semua pihak. Namun, ketika ihwal tersebut diimplementasikan secara nyata, perbedaan pendapat pun tak lagi dapat dihindari.
Menurut negara-negara GNB, dalam mengkaji persoalan HAM, keberadaan prinsip-prinsip budaya dan keyakinan mereka pun harus turut diperhatikan pula. Dalam keputusan akhir konferensi Tehran, negera-negara GNB menegaskan diakuinya identitas budaya masing-masing dan menilai keragaman budaya sebagai warisan bersama umat manusia. Dalam keputusan ini disebutkan, “Setiap budaya memiliki posisi dan nilai tersendiri yang layak untuk dikenal, dihormati dan dipelihara…”. Meski demikian, kekuatan imperialisme global senantiasa berupaya menolak diakuinya identitas budaya negara-negara lain. Pasalnya, ambisi sejati mereka adalah hendak menghancurkan budaya dan nilai-nilai pribumi bangsa-bangsa lain, dan menjadikan budaya Barat sebagai penguasa tunggal di dunia, termasuk dalam persoalan HAM.
Terkait hal ini, Presiden RII, Dr. Mahmoud Ahmadinejad dalam pidato pembukaannya di konferensi Tehran, menyatakan, “keragaman budaya bangsa-bangsa, layaknya bunga-bunga dalam sebuah taman yang besar. Ironisnya, terdapat sejumlah kekuatan yang berupaya menguasai hak-hak bangsa lain dan dengan segala daya propaganda dan politiknya berupaya memerangi budaya pribumi dan menghancurkan akar kultural dan tradisi negara-negara lain. Mengingat, dalam pandangan kekuatan imperialis, persoalan ini bagaikan bendungan yang bisa menghambat politik arogansinya”.

jaringan otot dan jaringan saraf

Diskusi Hasil Pembelajaran Bebas

1. Otot
adalah suatu jaringan yang tersusun atas sel-sel otot yang fungsinya untuk menggerakkan organ tubuh.
Ada 3 jenis Otot yang terdapat di dalam tubuh manusia,dimana truktur histologisnya berbeda,demkian lokasi dan fungsinya, yaitu :
a. OTOT RANGKA (LURIK)
Disebut juga VOLUNTARY MUSCLES,karena pergerakannya dikendalikan oleh kemauan kita.
1. STRUKTUR HISTOLOGISNYA :
*. Berbentuk silindris
*. Selnya panjang
*. Panjangnya 1-40 mm
*. Inti banyak,letaknya di tepi sel,diameter 10-100mikro meter
*. Mempunyai garis melintang (Garis Anisotrop)
*. Tiap sabut dibungkus oleh Sarcolema (Plasma membran)
*. Tiap berkas dibungkus oleh fasie superficialis
*. Tiap sabut terdiri dari serabut-serabut yang disebut MYOFIBRIL
*. Tiap sabut otot dipisahkan oleh Endomysium
*. Beberapa sabut otot akan membentuk kelompok Fasikel otot dan dibungkus oleh Perimysium
2. SIFATNYA :
*. Kontraksi cepat dan kuat
*. Kerja tak teratur
*. Tak tahan lama
3. FUNGSINYA :
*. Melindungi rangka dari benturan keras
*. Menggerakkan rangka


b. OTOT POLOS
Disebut juga INVOLUNTARY MUSCLE karena kontraksinya di luar kesadaran kita.
1. STRUKTUR HISTOLOGISNYA :
*. Terdiri atas sel-sel panjang tanpa garis melintang
*. Mempunyai panjang 20-200 mikron,panjang sabut mencapai 600 mikron,diameter sabut 3-9 mikron
*. Inti berbentuk cerutu,di tengah
*. Pada kutub inti berkumpul mitokondria,polyribosome,sisterna RE,komplek Golgi
*. Berbentuk gelendong dan runcing di kedua ujung [fusi forus]
*. Regenerasi dari sel mesenchylim
*. Terdapat pada lapisan terjal dinding jantung dan pembuluh darah tidak terlalu banyak
*. Terdapat disaluran kencing dan kelamin,saluran pernafasan,saluran pencernaan,pembuluh darah dan getah bening
*. Tiap sel dibungkus oleh lamina basale
*. Letak antar sel rapat sehingga jaringan ikat tidak terlihat
2. SIFATNYA :
*. Kerja teratur dan tahan lama
*. Kontraksi lambat
3.FUNGSINYA :
*. Untuk mengendalikan organ-organ dalam
*. Mempertahankan tonus/tekanan darah
4. Di saluran pencernaan bagian kontraktil sejak esophagus sampai anus
5. Pernafasan pada otot polos dilayani oleh sistem saraf otonom,dimana semua sabut sarafnya merupakan sabut saraf tak bermyelin dan merupakan sabut saraf post ganglioner.Tidak setiap sabut otot menerima akhiran saraf,sehingga rangsangan saraf pada satu sabut akan diteruskan ke sabut lain melalui struktur yang disebut gap junction (nexuses)

c. OTOT JANTUNG
1. STRUKTUR HISTOLOGISNYA :
*. Tersusun atas serabut lurik dan bercabang
*. Bentuk lonjong agak persegi dan warna pucat
*. Inti di tengah dengan Sarcoplasma yang cukup banyak
*. Sarcolema tipis dan sabut otot relatif lebih pendek dibandingkan dengan otot lurik yaitu hanya 50-100 mikron
*. Sabut otot jantung bercabang-cabang
*. Pada dinding jantung dan vena cava yang memasuki jantung
*. Pada tiap percabangan sel otot jantung terdapat jaringan ikat yang disebut discus interkalaris
*. Diameter 15 mikro meter dan panjang antara 85-100 mikro meter
*. Mikrofilamen terdiri dari aktin dan myosin
*. Serabut otot membentuk anyaman
*. Diantara sabut otot kaya dengan plexus pembuluh darah kapiler
2. SIFATNYA :
*. Kontraksi teratur dan tahan lama
*. Reaksi lambat
*. Bekerja terus dan memompa darah
3. FUNGSINYA :
*. Mengatur kontraksi otot jantung secara ritmis dan automatis










SARAF
adalah jaringan yang berperan mengirimkan sinyal-sinyal ke seluruh tubuh yang disebut neuron
a. Terdiri atas sel saraf (neuron) dan jaringan penyangga
b. Neuron terdiri atas : Badan sel saraf/cell body neuron/perikarion
c. Perikarion : Mempunyai inti seperti gelembung (Vasikuler) dengan nukleus yang jelas
d. Akson : Juluran panjang dimulai dari akson hillock biasanya tunggal dan meneruskan rangsang dari perikaryon ke perifer (eferen)
e. Dendrit : Juluran pendek yang jumlahnya satu atau lebih dan Menghantar rangsang dari perifer ke perykaryon (aferen)
Jenis NEURON
Menurut jumlah juluran sitoplasma :
1. Neuron Unipolar
2. Neuron pseudo-unipolar
3. Neuron bipolar
4. Neuron multipolar
5. sel parkinje

Menurut fungsinya :
1. Neuron Aferenis: Perykaryon nya di dalam ganglion spinalis,dendrite panjang,sifat senioris,menerima rangsang dari organ reseptor
2. Neuron Eferen : Perykaryon di dalam sistem saraf pusat,dendrite pendek,bersifat motoris,menyalurkan rangsangan dari otak

Sel-sel Penyangga pada Jaringan Saraf :
SST : Sel Schwann, Sel Satelit
SSP : Sel Neuroglia



Pembagian Jaringan Saraf :
1. Sistem Saraf Tepi (diperifer)
 Ganglion,sabut-sabut saraf,akhiran saraf
 Ganglion adalah kumpulan perikaryon di luar SSP
Dibagi menjadi : Ganglion spinalis,Ganglion otonom
 Sabut-sabut saraf
Dibagi menjadi : Sabut Saraf bermyelin,Sabut Saraf tidak bermyelin
2. Sistem Saraf Pusat (di otak,spinal,cranial,tulang belakang),yang termasuk SSP adalah :
 Medula spinalis (spinal cord)
 Cerebrum (Otak besar)
 Cerebelum (Otak kecil)

 Saraf Motoris : Penyampaian tanggapan terhadap rangsangan ke seluruh tubuh dan otot serta kelenjar
 Saraf Intermediet : Menghubungkan saraf-saraf satu dengan yang lain
 FUNGSI : Sintesis dan menginteraksikan informasi serta mengirim pesan/impuls berupa rangsang